Senin, 01 Januari 2018

kata-kata

2/01/18

Hai Readers..
Sudah dibaca yah..?
Hahaha.. maafkan ya. itu naskah gatot alias gagal total. sudah pernah kukirim ke berbagai redaksi dan semuanya ditolak..
Ya iya lah.. naskah jelek. alur ceritanya gak jelas..

Ini lagi bersih-bersih file di laptop. dibuang sayang..
simpan aja disini..

masih ada sih, naskah gagal yang lain, yang belum selesai. 
nanti lah yah..saya simpan disini lagi..

yuk ah.. salam semua yah..
semangat selalu.. 

chapter 21

Chapter 21
Entered a New Chapter

Empat bulan kemudian.
Musim Semi, 2015.
Aku menatap cermin di depanku. Pantulannya sungguh tidak dapat dipercaya. Seorang gadis berdiri memakai gaun panjang berwarna lavender, rambut disanggul dan riasan ala musim semi yang segar.
Gadis di cermin itu tampak berbeda. Senyuman terukir di bibirnya. Matanya berbinar-binar. Tidak ada lagi kesedihan di matanya.
“Kau sedang menyebut mantra?” tanya Nigel Perry sambil memulaskan kuasnya di pipiku.
“Mantra apa?” aku beralih ke arah Nigel.
“Cermin, cermin di dinding...” Nigel memelototkan matanya, “kau tanya siapa yang paling cantik, aku akan jawab, adikmu yang tercantik disini. Tapi kau adalah pendamping wanita tercantik yang pernah kutangani.”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Nigel. Hari ini, adikku Kathryn akan menikah dengan Zach. Aku bahagia karena menjadi bagian dari semua ini.
Aku dan Kathryn menjelajah seluruh Birmingham untuk mencari gaun pengantin yang sempurna untuknya, mencoba berbagai makanan untuk sajian, mencicipi anggur, bahkan memakan hampir semua potongan kecil sampel kue pengantin.
Aku tidak ingin mengetahui lebih banyak alasan dari Penelope Campbell dan tidak menghalanginya untuk menarik diri dari pernikahan Kathryn. Aku tidak ingin ia menjadi risau karena persoalan antara aku dengan anaknya, tetapi ia tetap merasa tak enak. Aku dan Katrhyn menyetujui untuk mencari jasa katering yang lain.
Di tengah keputus-asaan Kathryn karena semua tempat favoritnya di Birmingham ternyata sudah terisi sepanjang musim semi, aku memberi ide untuk mengadakan pesta pernikahannya di pinggir danau di belakang rumah, di Forestdale. Tak kusangka ia menyukai ide gila itu.
Barisan kursi-kursi putih berbaris rapih di depan lengkungan pernikahan yang dibalut dengan bunga aneka warna. Aku sengaja menyewa seorang perencana pernikahan untuk membuatkan dekorasi yang menyerupai pernikahan Bella dan Edward di film Twilight.
Berjalan melewati barisan kursi-kursi yang penuh dengan hadirin kali ini membuatku merasa bahagia karena kulihat wajah-wajah orang terkasih ada di antara mereka yang duduk.
Emily dan Senator Moore, Joann, Hansen dan si gadis kecil kami, Tiffany. Keluarga besarku juga ada. Bibi Ellen, Paman Dalton, bahkan Bianca yang baru tiba dari Paris dua jam lalu. Tampaknya jetlag tidak berpengaruh besar untuknya.
Papa memeluk dan mencium keningku sebelum kembali ke tempat duduknya setelah mengantar Kathryn dan menyerahkannya kepada pengantin pria.
Tepuk tangan para undangan ketika kedua insan yang jatuh cinta pada pandangan pertama itu mendeklarasikan ikatan suami istri mereka dengan sebuah ciuman mesra. Kathryn dan Zach melambaikan tangan pada kami dan menuju ke tempat resepsi di bawah sebuah tenda putih yang besar.
“Kathryn, aku ingin bersulang untuk kebahagianmu dengan Zach. Kalian berdua adalah inspirasi buatku dan yang membuatku kembali percaya akan cinta sejati. Walau saat ini kau sudah menjadi seorang istri, tapi kau tetaplah adikku,” aku mengangkat gelas berisi anggur merah, “bersulang... untuk Kathryn dan Zach...” Para undangan mengangkat gelas-gelas anggur mereka dan mengikuti ucapanku.
Sementara seorang penyanyi pria –seorang penyanyi jalanan di taman kota Birmingham yang kusewa untuk pernikahan ini- mulai melantunkan lagu-lagu pilihannya, kedua orang yang berbahagia itu mulai dengan dansa perdana mereka, tak lama sepasang demi sepasang mulai mengikuti mereka turun ke lantai dansa.
Aku masih duduk sendiri ketika Emily mendatangiku.
“Sudah kau baca? Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil meletakkan sebuah buku di hadapanku. Buku tebal dengan tulisan besar berwarna hitam dan putih ‘THE LAKE BEHIND THE HOUSE’ dengan gambar seorang gadis berambut pirang menatap ke sebuah danau dari jendela. Nama Emily Andrews ada di bawah tulisan hitam putih tersebut.
Aku tahu arah maksud pertanyaan Emily. Novelis itu menyuruhku membaca karya terbarunya dan menginginkan pendapatku.
“Cassey Attaway? Serius kah ini. Sama saja kau menulis kisah tentangku, Ems...” kataku sedikit sewot, “kalau saja Tiff masih hidup akan kusuruh dia menuntutmu!”
“Tapi kan hanya kau dan aku yang tahu. Lagipula kau dikenal sebagai Sandra Hattaway...” Emily terdiam sebentar, ia menyadari sesuatu, “oiya, namamya mirip ya..” akunya dengan wajah yang memelas.
“Ems, kau menulis tentang danau di belakang rumahku, tapi hanya membelokkan sedikit saja namaku. Lagipula, aku tidak membunuh siapa-siapa,” bantahku, “tapi lumayan bagus, Ems. Aku suka ceritanya.”
“Terima kasih, ya. Berkatmu bukuku jadi best seller. Kau tahu, tadi malam aku mendapat telepon dari seorang produser. Dia akan mengangkat bukuku ke layar lebar. Menakjubkan bukan?” Emily menjerit girang.
“Ems, itu hebat sekali.” Aku menyambutnya dengan senang.
“Aku tahu..” teriaknya kuat.
“Ada beberapa aktris yang kupikir sangat cocok untuk menjadi Cassie. Kau mau siapa? Gadis Parker dari Leverage itu hebat, atau si pirang sombong pemeran Quinn di Glee, atau...” Celoteh Emily terus-menerus tanpa henti.
Ketika kami sedang merayakan suksesnya buku terbaru Emily, smartphone-ku berbunyi. Aku tidak mengenali nomor yang tertera di layarnya.
“Sebentar, Ems,” aku memberi isyarat tanganku pada Emily dan berjalan ke arah danau, “Haloo” sapaku kepada seseorang di seberang.
[“Lavender adalah warna yang sangat tepat untukmu.”]
Terhenti langkahku dan terdiam di tempat. Menyadari suara itu sangat kukenali. Suara yang pernah mengisi hari-hariku. Suara yang pernah membuatku jatuh cinta. Aku merinding sekali. Seraut wajah muncul di benakku.
[“Kau cantik, sangat cantik. Aku suka saat kau memeriksa betapa sempurnanya kuku-kuku jarimu.”]
Aku segera menurunkan jari tanganku dan menyembunyikannya di balik gaunku. Dia tahu apa yang sedang kulakukan. Samar-samar kudengar alunan musik dan keramaian yang menjadi latar belakang si penelepon itu, lalu aku melihat ke arah tenda. Musik dan keramaian yang sama. Astaga, dia disini!
“OK. Kalau kau memang seorang gentelman, mari hadapi aku disini,” tantangku.
[“Kau tahu apa yang membuatku jatuh cinta padamu? Kata-katamu yang kadang terkesan pedas dan galak, tawamu yang melengking, begitu pula tatapan matamu yang membuatku menahan napas...”]
Latar belakang si penelepon itu pun semakin memburam seiring dengan seorang pria berstelan jas rapih yang berjalan menuju ke arahku.
[“Aku mencintaimu, Sandra..”]
Aku mematikan smarthphone-ku dan menyimpannya dalam tas tangan. Begitu juga dengan pria di depanku yang hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatku berdiri. Pria itu mengulaskan senyumnya. Pandangan kami saling bertautan. Ada debaran dalam dadaku.
Saat aku sudah tidak sanggup untuk menatapnya lagi, pria itu datang mendekat. Dia semakin dekat. Dan...
“Bryan, kau datang. Dari mana kau tahu ada pernikahan disini?” aku bertanya pada pria yang tak lain adalah Bryan Forrester.
“Burung kecil memberitahuku,” jawabnya sambil menyapu untaian rambut yang jatuh dekat mataku dengan jari-jarinya. Aku bergetar saat salah satunya menyentuh kulitku.
“Emily dengan kicauannya di Twitter. Ada rumor yang mengatakan kalau tempat ini adalah inspirasi buku terbarunya. Benar begitu?”
Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu apa-apa.
“San, dengar. Aku memang tidak diundang tapi aku merasa aku harus datang untuk menemuimu,” Bryan mendekatiku, “aku tahu aku bersalah padamu dan pasti kau sangat membenciku karena itu. Tapi, apabila kau memberiku kesempatan sekali lagi untuk memperbaikinya dengan senang hati akan kuambil kesempatan itu.”
Aku masih berdiam di tempat aku berdiri. Tak mampu membalas perkataannya.
“Aku tidak dapat jauh-jauh lagi darimu, San. Untuk itu aku ingin mengajakmu untuk pergi ke London, karena aku membutuhkan dukunganmu...”
Apa? Coba ucap sekali lagi, Bryan.
“Sandra, tolonglah. Katakan sesuatu supaya aku tenang. Jangan menyiksaku seperti ini,” sinar matanya mulai memancarkan keragu-raguan, “aku masih mencintaimu, Sandra. Kalau kau tidak merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan, maka aku akan pergi sekarang juga.”
Aku mau katakan sesuatu, Bryan. Mulutku rasanya terkunci.
Bryan mulai mundur selangkah.
“Maaf aku telah membuang waktumu, San. Aku mencintaimu.” Katanya sambil menatapku dalam. Ia pun segera berbalik dan berjalan meninggalkan aku yang masih kaku berdiri.
Aku tahu aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Ini adalah lima detik penentuan untukku agar segera mengambil sikap.
Detik pertama, dia tulus saat berkata-kata.
Detik kedua, dia masih mencintaiku. Aku dapat melihat dari sorot matanya.
Detik ketiga, aku ingin dia kembali.
Detik keempat, aku masih mencintainya. Ya, aku masih mencintainya.
Detik kelima, “Bryan...” panggilku. Aku memberi tanganku padanya untuk segera dia raih. Bryan menerima uluran tanganku.
“Apa kau bersungguh-sungguh pada setiap kata yang kau ucapkan?” tanyaku.
“Setiap kata itu benar adanya. Aku bersumpah. Demi nyawaku.” Bryan meletakkan tanganku di dadanya.
Aku menggerakkan mataku. Lalu melihat padanya.
“Jadi...kapan kita berangkat?” gumamku pelan.
“Kapan saja kau mau.” Bryam menciumku dengan mesra, dan aku membalas ciuman itu. Terasa hangat.
“Mengapa kau mengajakku pergi, Bryan? Akan kah lebih baik jika aku disini menunggumu?”
“Supaya aku dapat menciummu kapan saja aku mau...” Bryan kembali menciumku.
Aku menghapus jejak lipstik di sekitar bibir Bryan.
“Ayo kembali ke pesta. Aku tidak mau keluargaku mencari-cari aku.” Kutarik lembut tangan Bryan.
Kami berdansa dengan ‘Thinking Out Loud’ sebagai lagu pengiringnya. Bryan membuatku berputar di sela-sela dansa kami kemudian menangkapku kembali, lalu ia menciumku lagi. Aku tak ambil pusing dengan tatapan heran bercampur kaget dari Emily dan Joan.
Aku tahu Emily berusaha menggodaku saat ia bilang ingin bertukar pasangan dansa. Emily dan Bryan adalah pasangan dansa yang tepat. Mereka berdua seperti profesional ballroom dancer. Aku tak kan pernah bisa menandingi mereka berdua. Segera saja aku menuju meja terluar dan menyendiri di situ.
Seseorang sedang berdiri di pinggir danau. Aku mengenalnya. Tergerak ingin segera menemuinya.  Semilir angin dari arah danau menyertai langkah kakiku mendekati seseorang itu. Belum lagi aku sampai ke sana, ia sudah berbalik badan untuk mendapatiku.
“Hallo, Matthew,” sapaku. Matthew tersenyum kecil.
“Tak kusangka akhirnya kau akan akan kembali bersamanya,” ucapnya sendu, “tapi kalau kau merasa dia akan membuatmu bahagia kali ini, aku tak’kan menghalangimu. Kau pantas untuk berbahagia.”
“Matthew, aku...” aku tidak dapat meneruskan kata-kataku.
“Sudahlah. Kebahagia-anmu adalah prioritasku. Kurasa ini sudah waktunya.”
“Tinggallah, Matthew. Kau tahu aku menyayangimu. Aku mohon.” Paksaku.
Lagi-lagi Matthew hanya tersenyum.
“Aku akan menceritakan kisahmu di masa depan. Aku percaya akan menjadi inspirasi bagi orang-orang patah hati.” Lanjut Matthew lagi.
“Jangan kau berani, Matthew. Aku akan memburumu,” aku terdiam sejenak, kutatap mata coklatnya yang syahdu, “aku akan merindukanmu, Matthew, jangan pernah lupakan aku, aku hanya....” kata-kataku terhenti karena sebuah suara memanggil namaku.
Aku menoleh ke arah suara memanggil itu. Bryan datang menyusulku.
“Kau bicara dengan siapa?” tanyanya sambil melihat sekeliling.
Aku menggelengkan kepala dan menarik tangan Bryan untuk segera menjauh dari tempat kami berdiri.
“Ayo, kembali. Aku mau bicara dengan penyanyi itu tentang pembayarannya.” Ajakku pada Bryan.
Diam-diam aku mencuri lihat ke arah dimana Matthew berada. Langkahku terhenti demi melihat tubuhnya yang perlahan-lahan menjadi butiran-butiran pasir mulai dari kaki kemudian naik ke atas tubuhnya. Wajah itu masih meninggalkan senyuman khasnya. Tak lama kemudian butiran pasir itu menyapu semua tubuh Matthew dan terbang menuju ke tengah danau.
“Ada apa?” tanya Bryan.
“Aku mencintaimu, Bryan...”



~~~selesai~~~

chapter 18-20

Chapter 18
To All My Friends...

Sudah dua minggu sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Bryan ataupun Liam, apalagi mendengar kabar mereka.Yang kutahu dari Crystall akhirnya Bryan menceritakan perihal istrinya dan kembali ke London untuk menceraikannya dan kembali menata hidupnya dan kuliah. Sedangkan pria yang satu lagi, Liam, aku tidak tahu dia ada dimana. Entah masih di New York atau sudah kembali ke Alabama.
Aku masih belum mengetahui apa alasannya datang ke New York. Dia muncul tiba-tiba disaat Bryan menciumku. Aku tidak pernah merencanakan apalagi menginginkan untuk dicium Bryan.
“Bodoh!” Aku memaki diriku sendiri.
Aku masih beruntung karena masih bisa bekerja di kantor lamaku. Lucinda tidak sedang di tempat saat aku memulai tugasku. Aku hanya mengabarinya lewat telepon.
Banyak gosip tidak berguna lalu lalang disini. Aku salah satu korbannya. Entah siapa yang menyebarkan kalau aku menghilang karena pemulihan setelah aborsi. Astaga. Menyedihkan sekali.
Yang paling mengagetkan adalah Bertha tidak lagi bekerja disini. Dari seorang anak magang aku mengetahui kalau Bertha dipecat lantaran tulisan Emily di koran yang mengatakan bahwa Bertha adalah pegawai terburuk se-New York. Ini pasti karena Bertha bersikap tidak acuh tak acuh saat Emily datang untuk mencari kabar tentangku.
Aku ingin meluruskan masalah ini dan membantu Bertha untuk mendapatkan pekerjaannya kembali. Itu berarti aku harus berhadapan dengan seorang Emily Andrews.
Siang ini aku mendapat email dari seseorang yang bernama ‘Blackbirds’. Isi pesan itu meminta aku menemuinya di Carmine’s.
Saat berjalan kaki di sekitaran Upper west side sambil mencari-cari dimana letak Carmine’s, aku melihat seseorang yang sangat kukenal. Bertha. Dia memakai papan nama yang bertuliskan menu dan harga menu. Astaga, Bertha. Aku memanggilnya, tapi dia pura-pura tidak melihatku. Ketika akan kudekati dia malah berlari.
“Bertha, tunggu...” aku memanggilnya sambil terengah-engah. Siapa kuat berlari dengan sepatu seperti ini.
“Mau apa, kau, temanmu yang sok selebriti itu telah membuatku kehilangan pekerjaan impianku. Sekarang, seluruh Manhattan tidak ada yang mau mempekerjakan aku lagi. Cuma ada pekerjaan ini. Aku bahkan tidak dapat membayar sewa apartemenku. Aku diusir dari sana..” Betha menangis.
“Maafkan, aku. Maafkan juga temanku. Dia cuma emosi. Dengar, sekarang kau tinggalkan ini semua, pulang dan beristirahatlah. Besok kau masuk kerja seperti biasa, aku akan bicara pada Lucinda. Semua akan beres seperti sedia kala. Percayalah padaku..”
Aku berusaha meyakinkan Bertha kalau dia tidak perlu lagi membawa-bawa papan menu itu lagi. Tak mudah membuatnya mengikuti perkataanku, karena kepercayaan dirinya sudah mulai hilang. Dia sungguh percaya bahwa dirinya tak lagi berguna. Namun, aku tidak menyerah, walau satu jam aku bersamanya disini untuk membuatnya percaya padaku, aku tidak perduli. Akhirnya dia mempercayaiku. Aku hanya perlu menelepon Lucinda. Kuharap Lucinda juga sependapat denganku.
Aku mencari ke seluruh ruangan di Carmine’s, siapa kira-kira yang mirip dengan ‘blackbirds’. Restoran ini ramai sekali walaupun sudah lewat jam makan siang. Pelayan lalu lalang dengan nampan di tangan, melewatiku di depan, dibelakang. Sampai-sampai aku kebingungan dimana harusnya aku berdiri. Pengunjung semakin banyak. Datang dan pergi. Sebuah tangan melambai ke arahku dari arah dekat jendela kaca. Tak tampak wajahnya.
“Zachary Fannigan? Blackbirds? yang benar saja..” Kekagetanku menjadi-jadi setelah dekat pemilik tangan yang melambai itu. Zach segera berdiri dan menarik kursi untukku.
“Maaf, itu nama samaranku kalau aku memburu pengedar narkotika..” Zach berseloroh sambil merapikan dasinya dan memanggil pelayan untuk memesan minuman. Zach menawariku makan. Aku menolaknya dengan alasan kalau aku sudah makan siang. Jadi aku hanya memesan kopi.
“Bagaimana kabar disana, Zach?” tanyaku setelah meneguk sedikit kopi.
“Semuanya baik-baik saja. Kau jangan khawatir. Aku akan menjaga semua orang yang ada di rumahmu.” Zachary menyengir sambil menunjukkan mimik wajah yang konyol.
“Aku minta pendapatmu. Aku ingin melamar Kate dan menikah secepatnya. Kau tahu kan, sekarang Kate adalah gadis tercantik di Forestdale. Aku takut dia diambil orang..”
Aku tertawa mendengar kata-kata Zach dan kuyakinkan padanya kalau Kathryn bukan gadis gampangan. Kuharap dia menjadi tenang.
“Oh ya. Selain itu aku membawakan informasi yang kau butuhkan,-Zach mengeluarkan sebuah map berwarna coklat dari dalam tas selempangnya-temanku yang memberi ini beberapa hari yang lalu. Dia seorang agen-Zach mendaratkan ujung jari telunjuknya di bibirnya-rahasia ya,” ujarnya lagi sambil menyerahkan map itu padaku.
Aku masih terheran-heran, menebak apa kah isi dalam map itu.
“San, ini tentang Gillian Braxton.” Aku terkejut mendengar Zach meenyebut nama itu. Segera saja kutarik keluar isi map itu.
Dari dalam map itu, ada foto-foto Gillian ketika dewasa. Dia sangat lain sekali dengan Gillian yang kukenal. Kulihat sebuah foto Gill yang memakai gaun pengantin bersama seorang pria keturunan afrika-amerika di depan sebuah gereja.
“Cukup sulit menemukan dia, karena dia mengganti namanya menjadi Gemma Brown. Tapi DNA tidak dapat dibohongi. Dia ini Gillian Braxton yang kamu cari-cari,” jelas Zach, “dia ini adalah seorang profesor Universitas George Washington di D.C. Sudah menikah dengan Benjamin Adams, rekannya di universitas, Mei 2012.”
“Dimana dia sekarang, apa masih di D.C.? Aku ingin menemuinya.”
“Aku harap kau bisa, San. Tetapi Gillian sudah meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Maafkan aku, San.”
“Apa..?” aku sungguh tidak percaya apa yang baru saja kudengar. Gill sudah meninggal?
“Seminggu setelah menikah dia dan suaminya menghadiri suatu konfrensi di New York sini. Ketika berjalan-jalan di Central Park di malam hari, mereka dirampok. Benjamin melawan. Salah satu rekan perampok itu menembaknya. Benjamin meninggal di tempat. Istrinya dipukuli habis-habisan. Polisi berkuda menemukannya sudah hampir mati disamping mayat suaminya. Dia hanya bertahan tiga hari di rumah sakit, karena trauma di kepala yang hebat,” Zach meminum kopi yang dipesannya, “pihak universitas yang mengurus semuanya. Polisi sudah membekuk pelakunya setelah buron tiga bulan, karena melawan dan mau  menembak, polisi terpaksa melumpuhkannya lebih dahulu,” lanjutnya kemudian.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Zach. Zach berulang-ulang menyatakan menyesal.
Sudahlah. Kita tidak dapat memutar kembali masa lalu. Masa lalu adalah kenangan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghapusnya.  Masa depan adalah harapan. Diri sendiri lah musuh yang harus ditaklukkan.
Aku tidak bisa menangis lagi. Setidaknya Gill dan suaminya mendapatkan keadilan. Aku meyakini kalau Gill berbahagia karena dapat bersama dengan orang yang dia cintai sampai akhir hidupnya.
~~~
Sejak kematian Tiffany suasana semakin berbeda. Kami bertiga sudah jarang berkumpul bersama. Tidak ada lagi acara bertukar hadiah setiap tanggal dua puluh. Hampir tidak ada komunikasi. Kalaupun ada paling-paling hanya sebatas berbasa-basi lalu salah satu akan terpaksa menutup telepon karena sudah tidak ada lagi bahan pembicaraan atau terlalu banyak diam.
Kami bertiga semakin jauh. Joann sibuk dan lelah menjadi ibu. Emily punya proyek buku baru yang sudah harus naik cetak serta setumpuk undangan acara yang harus ia hadiri. Sedangkan aku.. aku hanya menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan.
Aku satu-satunya disini yang tidak punya kehidupan. Aku sungguh iri dengan kedua temanku. Joann memiliki Tiffany kecil dan Hansen yang sangat mencintainya. Emily semakin dekat Senator Moore.
Mereka makin berani menampakan diri berdua di depan publik. Koran dan majalah ternama se-antero New York menyebut mereka sebagai ‘Pasangan Abad Ini’. Dan aku.. lagi-lagi hanya memiliki pekerjaan ini.
“San, kau ditunggu di ruang rapat..” Bertha menyadarkan aku dari lamunan.
“Aku segera ke sana, Bertha. Terima kasih.” Kataku sambil senyum padanya.
Setidaknya aku orang baik yang membantu teman untuk mendapatkan pekerjaannya kembali, walau dia harus mulai lagi dari bawah.
Aku sunguh-sungguh kesepian. Aku bosan menjalani hari-hariku seorang diri. Aku ingin punya kehidupan dan membaginya dengan seseorang yang aku cintai. Aku merindukan keluargaku. Aku sungguh-sungguh tidak ingin menghabis satu musim lagi tanpa orang-orang terdekatku.
Aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku. Kali ini untuk selamanya. Aku tidak ingin kembali bekerja disana. Terlalu banyak drama, kesombongan, dan iri hati. Mungkin itu yang mereka sebut persaingan. Aku sebut itu ego.

***
Chapter 19
Pursuing My Love

Awal musim dingin, sebelum salju menumpuk dan banyak penerbangan yang dibatalkan karena badai, aku sudah membulatkan tekadku untuk mengakhiri kehidupan di Manhattan.
Aku berdiri di tengah-tengah ruangan apartemen yang sudah kosong. Semua barang itu sudah sampai mendahuluiku ke Birmingham, Alabama. Beberapa hari yang lalu adikku, Kathryn telah menemukan apartemen yang bagus untukku. Tidak terlalu besar seperti yang kupunya ini, tapi dia meyakinkanku bahwa itu adalah yang terbaik.
Berjalan menuruni anak tangga depan pintu masuk untuk yang terakhir kalinya. Kuamati lagi sekelilingku. Pandanganku menyapu seluruh gedung, trotoar dan jalanan besar di depannya.
Aku menoleh ke belakang, tampak sebuah taxi berhenti di depanku. Joann dan Emily keluar dari pintu taxi dan mendapatkanku. Mendekapku dalam pelukan mereka.
“Kau yakin, San?” tanya Emily sambil melepas pelukannya. Aku hanya mengangguk pelan.
“San, jika ini lantaran kami yang mengabaikanmu, kami mohon maaf. Aku minta maaf. Aku berjanji akan mencari pengasuh dan kita akan bisa hang-out lagi bertiga..” Joann berusaha meyakinkanku untuk tetap tinggal.
“Bukan karena kalian. Sumpah. Aku ingin menemukan kembali cintaku. Aku sudah mendapatkannya, namun kulepaskan lagi..” aku menatap mereka berdua.
“Maksudmu, Liam. Kau jatuh cinta pada Liam, pelayan itu!” Jerit Emily senang.
“Hey, hey, tunggu dulu. Siapa Liam?” Joann masih kebingungan.
“Iya, Ems. Aku jatuh cinta padanya. Aku menginginkan dia kembali..”
“Siapa Liam, San? Ems, kau tahu dan tidak memberitahuku?”  
“Biar dia saja yang memberitahumu,-kutunjuk Emily-aku ada pesawat yang harus kukejar.” Bisikku pada Joann.
Setelah berpamitan pada mereka berdua aku menuju JFK.
Kembali pulang, mengambil kembali apa yang telah kulepaskan.
~~~  
Birmingham, Alabama.
Menempati suatu tempat yang baru sepertinya adalah perkara yang mudah. Mungkin karena ada Kathryn yang membantu. Dia menunggu jasa pengangkut barang pindahan di apartemenku yang baru, dan menatanya dengan cepat.
“Aku menyukainya. Terima kasih banyak, Kat” aku melonjak senang sembari memeluk Kathryn.
“Sudah, ya. Aku harus segera kembali ke Forestdale. Zach sedang menungguku di ‘C Catering’,” Kathryn mengambil tas dan jaketnya, “dah, kak. Baik-baiklah disini. Ada beberapa makanan beku di lemari pendingin, kalau kau tidak ingin mencari makan di luar.”
Aku ingin sekali melanjutkan percakapan tentang ‘C Catering’ tadi. Tapi, Kathryn sepertinya sedang terburu-buru.
Mereka berdua, Kathryn dan Zach akan menikah pada pertengahan musin semi depan. Mungkin mereka ingin memakai jasa Penelope Campbell lagi karena kesuksesan jasa katering itu di pesta pernikahan Papa.
“Aku suka semua ini. Sebuah awal baru,” gumamku pada seseorang di ujung sofa sana, “apa kau juga sependapat, Matthew?”
“Tergantung,” ujarnya sambil tersenyum.
 Kutatap langit Birmingham kala senja hari. Matahari perlahan mulai menenggelamkan dirinya. Sekarang aku disini, mulai dari mana?
Malam itu juga aku pergi mengunjungi Penelope di rumahnya yang sekaligus kantor untuk jasa kateringnya. Rumah sederhana dengan halaman depan yang luas. Sebuah pohon besar kokoh berdiri di depan rumah. Tidak seperti rumah-rumah lain yang memasang berbagai hiasan Natal di halaman besar mereka, pemilik rumah yang ini hanya memasangkan lampu-lampu warna-warni di sekeliling rumah.
Kuketuk pintu depan, namun tidak ada jawaban. Aku memutari rumah itu ke belakang dan mendapati Penelope sedang menggulung adonan. Dia sangat terampil melakukan pekerjaan itu. Meja kerjanya tampak bersih begitu pula celemek putihnya, tidak seperti aku, berantakan dan kotor disana-sini.
Penelope nampak terkejut dengan kedatanganku tetapi tetap memberiku senyum khas dan pelukan hangatnya. Penelope mengatakan betapa ia sangat merindukanku. Aku meminta maaf padanya karena tidak berpamitan saat kembali ke New York. Penelope kemudian mengajakku membantunya membuat pai ayam bersamanya.
Disela-sela menumis daging ayam untuk isian pai, Penelope menceritakan bahwa Liam pernah pergi ke New York sendirian tetapi tidak pernah mengatakan ada tujuan apa. Aku hanya mengangguk dan mengatakan kalau aku sempat bertemu dengannya.
“Oya? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku kalau bertemu denganmu,” gumam Penelope, ia mencicipi tumisannya menambahkan sedikit bumbu dan mencicipinya lagi, “lalu bagaimana, aku bertanya tapi putraku itu hanya diam. Dia kebanyakan mengurung diri di kamar sejak dari sana” lanjutnya lagi.
“Itulah sebabnya aku kemari, Pen, untuk bertemu dengannya. Apa dia ada?” tanyaku berharap.
Penelope menatapku. Aku hanya tertunduk sambil memainkan pot tempat pai yang sudah terisi adonan pastry.
“Apa sesuatu yang buruk menimpa kalian berdua?” Penelope mengambil pot itu dari tanganku.
“Sangat buruk, Pen... aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu.”
Penelope tidak menuntut untuk menceritakan apa yang terjadi padaku dan anak lelakinya. Sambil menyendok tumisan dan memasukkannya ke dalam pot, Penelope menjelaskan suatu hal padaku.
“Anakku itu sudah tidak tinggal bersamaku lagi. Dia mengemasi barang-barangnya dan memilih tinggal di apartemen sempit di pusat kota. Dia berhenti bekerja dan bergabung dengan teman-temannya sesama pengacara di firma yang lebih besar,” Penelope memasukkan pot-pot itu ke dalam oven, mengatur timer-nya, lalu membilas kedua tangannya di wastafel.
“Aku tahu, Pen. Aku dari sana, mereka bilang dia berhenti begitu saja. Maafkan aku, Pen, mungkin benar aku penyebab semua ini.”
“Ah, sudahlah. Tak mengapa. Bukan salahmu, dia sudah dewasa. Lagipula sejak dulu aku selalu mendorongnya untuk tinggal sendiri, tapi dia terus menolak dengan alasan untuk menemaniku disini. Akan kuberikan alamatnya padamu nanti.”
Penelope mengajakku ke ruang tengah, memberiku secangkir teh dan secarik kertas berisi alamat kantor Liam yang baru.
Pandanganku menyapu ruangan tengah rumah Penelope. Tampak hangat dan bersahaja. Ada sedikit pernak-pernik Natal tergantung di plafonnya. Tak banyak foto-foto menempel di dindingnya.
Penelope berusaha menahanku untuk makan pai ayam hangat-hangat, tetapi aku sudah tidak sabar ingin menemui Liam, menjelaskan semuanya dan mencoba untuk memenangkan hatinya kembali.
~~~
Aku berhasil menemui Liam Campbell di kantor barunya. Sangat aneh kalau dia tampak biasa tidak menujukkan rasa marah sedikit pun. Bahkan dia menyambutku seperti seseorang yang baru bertemu lagi dengan teman lama setelah sekian tahun tidak bertemu.
Kami duduk-duduk di restoran Italia yang ada di lantai bawah kantornya. Lima belas menit pertama yang terbuang karena kami masih saling diam menatap cangkir minuman masing-masing.
Ramainya restoran tidak membuat kami terganggu dengan aksi diam tersebut. Terus terang, aku sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini. Aku tidak tahan lagi.
“Senang bisa bertemu denganmu lagi, Liam” kataku pelan. Liam menatapku dan tersenyum kecil. Kemudian tangannya mendekati dan mulai memegangi jari-jariku yang masih memegang cangkir minuman.
“Aku merindukanmu, sungguh.”
“Aku juga merindukanmu, Liam. Maafkan, aku sudah mengacaukannya.”
“Sudahlah, aku sudah tidak mengingatnya lagi,” Liam melipat tangannya di atas meja, “apa yang kau lakukan di sini, San?” Liam bertanya padaku.
“Aku... aku hanya ingin menjelaskan duduk persoalan malam itu. Aku tidak mencium Bryan, dia yang menciumku dan aku berusaha untuk menghentikannya, namun kau sudah lebih dahulu melihatnya....” Jelasku dengan cepat.
“Bukan itu. Aku sudah bilang, aku sudah tidak mengingatnya lagi. Maksudku, kau sedang apa di Alabama?” tanyanya lagi.
Aku tidak menyangka kalau Liam melupakan begitu saja kejadian di malam pesta kembang api itu.
“Aku kemari untuk mendapatkanmu kembali...” kutatap serius wajahnya. Liam nampak terheran dengan pengakuanku. Bibirnya melebar dan dahinya mengerut.
“Aku berhenti dari pekerjaanku dan pindah kemari. Aku tidak ingin tinggal jauh dari keluargaku. Dan... aku ingin bersamamu, Liam!“ Sontak aku berdiri dan bergegas keluar restoran.
Liam menyusulku dan segera memelukku. Dapat kurasakan betapa hangatnya tubuh Liam. Kudengar detak jantungnya bagai sebuah lagu yang mengiang di telingaku.
“Kalau seperti itu maumu, maka jadilah. Aku tidak pernah keberatan,” bisiknya sambil mengecup keningku.
Liam memakaikan jaket serta menyerahkan tas yang kutinggalkan di tempat duduk tadi, kemudian ia merangkul pundakku dan mengajakku berjalan kaki di trotoar yang ramai dengan kafe-kafe tenda.
“Kau mengencani seseorang saat ini?” tanyaku tiba-tiba.
“Ada beberapa. Tapi tidak ada yang spesial,” Liam menghentikan langkahnya memegangi wajahku dengan kedua tangannya, “tidak ada yang sepertimu.” Liam berusaha untuk meyakinkan aku, “kau tahu mengapa aku ke New York?” aku menggeleng, “aku melihatmu di televisi saat berada di pemakaman seseorang, kau tampak sedih. Saat itu ku pikir aku harus mendampingimu. Segera saja aku naik pesawat ke tempatmu.”
“Ya, teman baikku. Dia meninggal karena kanker. Tapi, maaf, kau harus melihat bagian terjeleknya.” Ujarku tidak semangat. Liam menggeleng pelan.
Ada kelegaan dalam helaan napasku kali ini.
Aku bahagia. Tidak ada yang menandingi perasaanku saat ini. Berjalan-jalan berduaan dengan kekasih yang mendekap hangat yang tak henti-hentinya mencium. Sungguh aku bahagia.
Kami berhenti di kerumunan orang-orang yang menonton sebuah paduan suara anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu Natal. Tampak butiran-butiran serupa kapas mulai jatuh satu persatu. Salju mulai turun. Sepertinya akhir tahunku akan berakhir dengan sempurna.

***
Chapter 20
Do Not Lie To Me... (The Day When My Life Was Over, part Two)

Matthew duduk sambil memeluk dan membelai rambutku. Berulang kali dia berusaha menenangkan dengan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Saat ini aku tidak ingin mendengar kata-kata itu karena kali ini tidak mujarab bagiku. Aku terus-menerus menangis. Dalam isak tangis aku bertanya-tanya, apakah aku ditakdirkan untuk sendirian.
Liam mendustaiku. Dia bilang tidak satu pun kencan serius yang dijalaninya. Tetapi kenyataan berkata lain.
Dua hari yang lalu, tepatnya tanggal dua puluh delapan Desember, seorang gadis berparas cantik berambut coklat gelap, bertubuh indah ala bintang teleovela mendatangi apartemenku. Saat itu aku sedang menunggu Liam yang menjemputku untuk makan malam.
“Aku mencari Cassandra Hattaway,” sapanya sopan dan lembut.
“Aku sendiri. Maaf, kamu siapa?” tanyaku heran.
“Hai,” gadis itu mengajak untuk berjabatan tangan, “namaku Caitlin Luna.”
Aku menerima ajakannya. Tangannya sangat halus dan licin.
“Boleh aku masuk sebentar? Ada yang ingin aku sampaikan padamu.” Kali ini gadis cantik itu setengah memaksa. Aku terpaksa mengiyakannya dan mempersilahkan dia masuk.
“Rumahmu bagus,” pujinya seraya melepas jaket dan melihat-lihat sekeliling.
“Terima kasih,” aku menghela napas, “maaf, aku sedang menunggu seseorang...”
“Liam, bukan?” dia bertanya, aku kaget penasaran, dari mana ia tahu kalau aku sedang menunggu Liam.
“Cassandra,” panggilnya pelan, “aku dan Liam rekan satu firma. Saat ini kami sedang menjalin hubungan serius. Kami sudah tinggal bersama selama hampir empat bulan ini...” kata-katanya terputus karena melihatku jatuh perlahan dan lunglai di atas sofa.
“Apa dia yang menyuruhmu untuk kemari dan memberitahukan semuanya padaku?” isakku. Aku mulai menagis.
“Tidak!” Sangkalnya. “Liam bahkan tidak tahu kalau aku akhirnya tahu tentangmu. Sepupuku seorang polisi patroli yang memberitahuku. Dia pernah melihat kalian berdua berjalan-jalan di taman malam Natal kemarin,” gadis bernama Caitlin itu duduk di dekatku, “saat itu aku tahu, kalau kamulah dia...”
Kuhapus sisa air mata di pipi. Kutatap dengan merana gadis di depanku.
“Liam pernah bercerita padaku kalau ia mencintai gadis ini dan menyusulnya ke New York, ketika kembali dia mengatakan kalau dia dengan gadis ini sudah selesai.”
“Dan kau memanfaatkannya?” tuduhku pada Caitlin.
“Tidak,” sangkalnya lagi, “dia sangat terpukul, dan aku ada disana untuk menemaninya. Aku tidak bersalah dalam hal ini, Cassandra. Dengar, aku mencintai Liam sejak masih di sekolah hukum. Aku selalu mengikuti dia kemana pun dia pergi,” gadis itu mengambil tempat duduk di dekatku, “saat dia berhenti bekerja, dia tidak memberitahu siapa-siapa kemana dia akan pindah. Aku mencarinya ke seluruh firma di Birmingham, dan menemukannya. Dalam hati aku bertekad untuk tidak kehilangan dia lagi.”
Aku melihat binar-binar di matanya ketika menceritakan hal itu. Gadis ini juga mencintai Liam.
“Ayah dan ibuku adalah generasi pertama yang tinggal Amerika. Mereka meninggalkan Peru hanya untuk mengejar impian Amerika mereka. Aku juga punya. Sekolah hukum, karir cemerlang, dan suami,” lanjutnya lagi.
Tapi apakah orang itu harus Liam?
“Aku hanya ingin masa depan yang terbaik untuk bayi kami. Aku hamil, Cassandra. Aku tidak mau bayi ini lahir tanpa ayah....”
Perlahan-lahan kualihkan tatapanku kembali padanya. Dalam tatapanku, aku berteriak dan bertanya.
“Ini sudah dua bulan. Aku berniat memberitahukannya. Untuk itu aku harus menemuimu terlebih dahulu.” Penjelasan Caitlin membuatku mual.
“Pergilah...!” Aku mengusirnya perlahan. “Sudah cukup penjelasanmu. Aku tidak mau dengar lagi sisanya....”
“Aku tidak pernah merencanakan ini, Cassandra. Maafkan aku..” setelah berkata demikian, Caitlin, gadis itu segera mengambil tas dan jaketnya dan pergi meninggalkan aku yang masih terkulai di sofa.
“Kau bisa mendapatkan laki-laki lain, Cassandra. Tapi, tolong jangan Liam,” ujar Caitlin sebelum pergi.
Caitlin hampir menabrak Liam di pintu masuk. Aku dapat melihat keterkejutan Liam melihat Caitlin keluar dari pintuku. Mereka berdua sempat beradu pandang.
Saat Caitlin melewatinya, Liam hanya terpaku melihatku yang sudah berdandan rapi dengan air mata menggenang.
“San...” panggil Liam. Suaranya melemah.
“Kau tidur dengan gadis itu. Caitlin. Kau tidur dengannya?” tanyaku sambil menampik tangan Liam yang hendak menghapus air mata di pipiku, “kau berbohong padaku. Kau bilang tidak ada yang spesial...” aku berteriak pada Liam.
“Ya, itu benar. Memang tidak ada yang spesial!” Liam balas meneriakiku.
“Tapi kau tidur dengannya, Liam. Kalian tinggal bersama...dan sekarang dia hamil anakmu. Dia akan memberitahumu hari ini. Kau dengar...!” aku mengamuk dan memecahkan vas bunga di atas meja. Tanganku berdarah terkena pecahannya. Aku berusaha menghentikan darah yang keluar dengan membungkamnya memakai kain bajuku.
Liam hanya terdiam. Dia tidak membantah sedikit pun perkataanku.
Apa yang kukatakan semua itu benar adanya, kan? Kau tidak bisa membela dirimu.
Liam menuju pintu. Dengan cepat ia membalikkan badannya.
“Aku akui kalau aku salah. Aku sudah membohongimu. Terus terang,  aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu. Demi Tuhan, kaulah yang kucintai saat ini...” Liam menutupi kedua matanya dengan tangannya. Lalu aku mendengar isaknya.
“Aku sangat terluka, dan Caitlin ada saat itu. Aku mengakui kelemahanku...”
Liam mendekatiku dan berusaha untuk memeluk. Dengan pelan kutolak pelukannya dan berbalik membelakanginya.
“Aku berharap aku bisa mengubah masa lalu, San,” gumamnya dalam isak tangisnya.
“Liam,” panggilku tanpa melihat padanya, “aku tidak apa-apa.”
“Maafkan aku, San. Aku sungguh-sungguh menyesalinya.” Liam menyentuh pundak dan memelukku dari belakang. Kupejamkan mata sejenak dan menikmati pelukan itu untuk yang terakhir kalinya.
“Pergilah kau, Liam. Jauhi aku...” ujarku pelan. Tidak tahukah kau apa yang kukorbankan untuk sampai kemari?
“Kumohon... biarkan aku begini untuk sesaat,” bisiknya. Aku dapat merasakan bibirnya yang berkata-kata di pundakku.
Untuk sejenak aku membiarkannya menangis di pundakku.
Perlahan Liam melepaskan pelukannya. Kemudian dia mencium kepalaku dan membelai rambutku.
“Maafkan aku, San. Aku mendoakan kebahagianmu dimanapun aku berada. Selamat tinggal.” Pamit Liam.
Kudengar suara langkahnya semakin menjauh. Dan menghilang.
Menyadari Liam tidak akan kutemui lagi, pecahlah tangisku.
Saat ini aku tidak mempercayai bahwa cinta itu benar-benar ada. Aku pernah kehilangan satu buah cinta. Di saat permohonan dan harapan akan cinta tidak ada yang terwujud, ada sosok ini hadir dan menjawab semuanya.
Dia memberiku kepercayaan kembali bahwa cinta itu masih ada, bahwa... aku juga masih bisa memperoleh cinta itu dan berbahagia karenanya.
Tetapi sekarang seperti dirampas lagi dariku, padahal aku sudah menggenggamnya. Aku siap mewujudkannya, membuatnya menjadi nyata.
Sudah bersusah payah aku mengejarnya sampai ke tempat ini. semuanya jadi tidak berguna. Hanya kekecewaan. Apa yang kugenggam sekarang? Debu. Tak ada yang lebih baik dari segenggeam debu.
Dicampakkan. Tak percaya hal ini terjadi padaku, sekali lagi.
Aku hanya ingin menghilang...
~~~
Gemerlap meriahnya tahun baru sudah berakhir. Tidak ada yang tersisa dan tidak ada yang terbarukan dari hidupku. Tidak ada kemeriahan, sukacita ataupun semangat memulai kembali. Hari ini tetaplah sama seperti hari-hari kemarin. Hambar dan membosankan. Seperti kehidupanku sekarang.
Emily mengirim email foto yang dibuat seperti kartu pos. Foto dirinya bersama Senator Moore dengan latar belakang lautan manusia yang  memadati Times Square untuk menyaksikan penurunan bola raksasa.
Seuntai tulisan disana yang mendoakan supaya aku lebih baik lagi di tahun yang baru. Sebuah tarikan lepas napas dariku itu seolah menandakan bahwa itu tidak akan pernah terwujud.
Sebuah email lagi dari Joann dan Hansen. Mereka berfoto mengapit si kecil Tiffany yang semakin besar. ‘Andai kau ada disini..’ tulisan dibawah foto itu membuatku ingin menangis. Namun urung kulakukan karena melihat senyuman lebar ketiganya.
Aku beralih ke ruang tengah dan mulai menonton -lagi- film ‘P.S. I Love You’ dari koleksi DVD milikku. Tanpa bergerak sedikit pun tanpa terasa film itu pun usai. Persis seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi. Entah sudah berapa kali aku menonton film ini, dan menangis selama dua jam setelahnya.
Aku ingin seperti Holly yang punya banyak cinta untuk Gerry sampai Gerry meninggal mendadak. Walau jatuh bangun dalam kesedihan ia mampu bangkit kembali dan menemukan kembali masa depannya.
Mengapa kisahku tidak seperti itu. Pria-pria yang sempat hadir dan memberiku perjalanan cinta ‘pun belum ada yang mati. Tak satu pun dari keduanya yang memberi kehidupan pada cintaku.
Aku sangat ingin percaya bahwa cinta sejati itu ada. Karena itu anugerah. Cinta dan kebahagiaan adalah kombinasi yang tepat. Bukan cinta dan kesedihan.
Tak sengaja kakiku menginjak tombol remote, dan DVD film tadi berganti dengan CD lagu-lagu sendu yang sudah sekian tahun baru terdengar kembali.
Mendengar lagu yang berkumandang, aku menghentikan langkah kaki, terduduk di lantai dan mulai menangis dengan kencang.
‘...why does my heart go on beating
Why do these eyes of mine cry..
Don’t they know it’s the end of the world
It ended when you said good bye....’


***