Chapter
18
To
All My Friends...
Sudah dua minggu sejak kejadian itu aku
tidak pernah lagi bertemu dengan Bryan ataupun Liam, apalagi mendengar kabar
mereka.Yang kutahu dari Crystall akhirnya Bryan menceritakan perihal istrinya
dan kembali ke London untuk menceraikannya dan kembali menata hidupnya dan
kuliah. Sedangkan pria yang satu lagi, Liam, aku tidak tahu dia ada dimana.
Entah masih di New York atau sudah kembali ke Alabama.
Aku masih belum mengetahui apa alasannya
datang ke New York. Dia muncul tiba-tiba disaat Bryan menciumku. Aku tidak
pernah merencanakan apalagi menginginkan untuk dicium Bryan.
“Bodoh!” Aku memaki diriku sendiri.
Aku masih beruntung karena masih bisa
bekerja di kantor lamaku. Lucinda tidak sedang di tempat saat aku memulai
tugasku. Aku hanya mengabarinya lewat telepon.
Banyak gosip tidak berguna lalu lalang
disini. Aku salah satu korbannya. Entah siapa yang menyebarkan kalau aku
menghilang karena pemulihan setelah aborsi. Astaga. Menyedihkan sekali.
Yang paling mengagetkan adalah Bertha
tidak lagi bekerja disini. Dari seorang anak magang aku mengetahui kalau Bertha
dipecat lantaran tulisan Emily di koran yang mengatakan bahwa Bertha adalah pegawai
terburuk se-New York. Ini pasti karena Bertha bersikap tidak acuh tak acuh saat
Emily datang untuk mencari kabar tentangku.
Aku ingin meluruskan masalah ini dan
membantu Bertha untuk mendapatkan pekerjaannya kembali. Itu berarti aku harus
berhadapan dengan seorang Emily Andrews.
Siang ini aku mendapat email dari
seseorang yang bernama ‘Blackbirds’.
Isi pesan itu meminta aku menemuinya di Carmine’s.
Saat berjalan kaki di sekitaran Upper west side sambil mencari-cari
dimana letak Carmine’s, aku melihat
seseorang yang sangat kukenal. Bertha. Dia memakai papan nama yang bertuliskan
menu dan harga menu. Astaga, Bertha. Aku memanggilnya, tapi dia pura-pura tidak
melihatku. Ketika akan kudekati dia malah berlari.
“Bertha, tunggu...” aku memanggilnya
sambil terengah-engah. Siapa kuat berlari dengan sepatu seperti ini.
“Mau apa, kau, temanmu yang sok
selebriti itu telah membuatku kehilangan pekerjaan impianku. Sekarang, seluruh
Manhattan tidak ada yang mau mempekerjakan aku lagi. Cuma ada pekerjaan ini.
Aku bahkan tidak dapat membayar sewa apartemenku. Aku diusir dari sana..” Betha
menangis.
“Maafkan, aku. Maafkan juga temanku. Dia
cuma emosi. Dengar, sekarang kau tinggalkan ini semua, pulang dan beristirahatlah.
Besok kau masuk kerja seperti biasa, aku akan bicara pada Lucinda. Semua akan
beres seperti sedia kala. Percayalah padaku..”
Aku berusaha meyakinkan Bertha kalau dia
tidak perlu lagi membawa-bawa papan menu itu lagi. Tak mudah membuatnya
mengikuti perkataanku, karena kepercayaan dirinya sudah mulai hilang. Dia
sungguh percaya bahwa dirinya tak lagi berguna. Namun, aku tidak menyerah,
walau satu jam aku bersamanya disini untuk membuatnya percaya padaku, aku tidak
perduli. Akhirnya dia mempercayaiku. Aku hanya perlu menelepon Lucinda. Kuharap
Lucinda juga sependapat denganku.
Aku mencari ke seluruh ruangan di Carmine’s, siapa kira-kira yang mirip
dengan ‘blackbirds’. Restoran ini
ramai sekali walaupun sudah lewat jam makan siang. Pelayan lalu lalang dengan
nampan di tangan, melewatiku di depan, dibelakang. Sampai-sampai aku
kebingungan dimana harusnya aku berdiri. Pengunjung semakin banyak. Datang dan
pergi. Sebuah tangan melambai ke arahku dari arah dekat jendela kaca. Tak
tampak wajahnya.
“Zachary Fannigan? Blackbirds? yang
benar saja..” Kekagetanku menjadi-jadi setelah dekat pemilik tangan yang
melambai itu. Zach segera berdiri dan menarik kursi untukku.
“Maaf, itu nama samaranku kalau aku
memburu pengedar narkotika..” Zach berseloroh sambil merapikan dasinya dan
memanggil pelayan untuk memesan minuman. Zach menawariku makan. Aku menolaknya
dengan alasan kalau aku sudah makan siang. Jadi aku hanya memesan kopi.
“Bagaimana kabar disana, Zach?” tanyaku
setelah meneguk sedikit kopi.
“Semuanya baik-baik saja. Kau jangan
khawatir. Aku akan menjaga semua orang yang ada di rumahmu.” Zachary menyengir
sambil menunjukkan mimik wajah yang konyol.
“Aku minta pendapatmu. Aku ingin melamar
Kate dan menikah secepatnya. Kau tahu kan, sekarang Kate adalah gadis tercantik
di Forestdale. Aku takut dia diambil orang..”
Aku tertawa mendengar kata-kata Zach dan
kuyakinkan padanya kalau Kathryn bukan gadis gampangan. Kuharap dia menjadi
tenang.
“Oh ya. Selain itu aku membawakan
informasi yang kau butuhkan,-Zach mengeluarkan sebuah map berwarna coklat dari
dalam tas selempangnya-temanku yang memberi ini beberapa hari yang lalu. Dia
seorang agen-Zach mendaratkan ujung jari telunjuknya di bibirnya-rahasia ya,”
ujarnya lagi sambil menyerahkan map itu padaku.
Aku masih terheran-heran, menebak apa
kah isi dalam map itu.
“San, ini tentang Gillian Braxton.” Aku
terkejut mendengar Zach meenyebut nama itu. Segera saja kutarik keluar isi map
itu.
Dari dalam map itu, ada foto-foto
Gillian ketika dewasa. Dia sangat lain sekali dengan Gillian yang kukenal. Kulihat
sebuah foto Gill yang memakai gaun pengantin bersama seorang pria keturunan
afrika-amerika di depan sebuah gereja.
“Cukup sulit menemukan dia, karena dia
mengganti namanya menjadi Gemma Brown. Tapi DNA tidak dapat dibohongi. Dia ini
Gillian Braxton yang kamu cari-cari,” jelas Zach, “dia ini adalah seorang
profesor Universitas George Washington
di D.C. Sudah menikah dengan Benjamin
Adams, rekannya di universitas, Mei 2012.”
“Dimana dia sekarang, apa masih di D.C.? Aku ingin menemuinya.”
“Aku harap kau bisa, San. Tetapi Gillian
sudah meninggal setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Maafkan aku, San.”
“Apa..?” aku sungguh tidak percaya apa
yang baru saja kudengar. Gill sudah meninggal?
“Seminggu setelah menikah dia dan
suaminya menghadiri suatu konfrensi di New York sini. Ketika berjalan-jalan di
Central Park di malam hari, mereka dirampok. Benjamin melawan. Salah satu rekan
perampok itu menembaknya. Benjamin meninggal di tempat. Istrinya dipukuli
habis-habisan. Polisi berkuda menemukannya sudah hampir mati disamping mayat
suaminya. Dia hanya bertahan tiga hari di rumah sakit, karena trauma di kepala
yang hebat,” Zach meminum kopi yang dipesannya, “pihak universitas yang
mengurus semuanya. Polisi sudah membekuk pelakunya setelah buron tiga bulan,
karena melawan dan mau menembak, polisi
terpaksa melumpuhkannya lebih dahulu,” lanjutnya kemudian.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan
Zach. Zach berulang-ulang menyatakan menyesal.
Sudahlah. Kita tidak dapat memutar
kembali masa lalu. Masa lalu adalah kenangan. Tidak ada seorang pun yang dapat
menghapusnya. Masa depan adalah harapan.
Diri sendiri lah musuh yang harus ditaklukkan.
Aku tidak bisa menangis lagi. Setidaknya
Gill dan suaminya mendapatkan keadilan. Aku meyakini kalau Gill berbahagia
karena dapat bersama dengan orang yang dia cintai sampai akhir hidupnya.
~~~
Sejak kematian Tiffany suasana semakin
berbeda. Kami bertiga sudah jarang berkumpul bersama. Tidak ada lagi acara
bertukar hadiah setiap tanggal dua puluh. Hampir tidak ada komunikasi. Kalaupun
ada paling-paling hanya sebatas berbasa-basi lalu salah satu akan terpaksa
menutup telepon karena sudah tidak ada lagi bahan pembicaraan atau terlalu
banyak diam.
Kami bertiga semakin jauh. Joann sibuk
dan lelah menjadi ibu. Emily punya proyek buku baru yang sudah harus naik cetak
serta setumpuk undangan acara yang harus ia hadiri. Sedangkan aku.. aku hanya
menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan.
Aku satu-satunya disini yang tidak punya
kehidupan. Aku sungguh iri dengan kedua temanku. Joann memiliki Tiffany kecil
dan Hansen yang sangat mencintainya. Emily semakin dekat Senator Moore.
Mereka makin berani menampakan diri
berdua di depan publik. Koran dan majalah ternama se-antero New York menyebut
mereka sebagai ‘Pasangan Abad Ini’. Dan aku.. lagi-lagi hanya memiliki
pekerjaan ini.
“San, kau ditunggu di ruang rapat..”
Bertha menyadarkan aku dari lamunan.
“Aku segera ke sana, Bertha. Terima
kasih.” Kataku sambil senyum padanya.
Setidaknya aku orang baik yang membantu
teman untuk mendapatkan pekerjaannya kembali, walau dia harus mulai lagi dari
bawah.
Aku sunguh-sungguh kesepian. Aku bosan
menjalani hari-hariku seorang diri. Aku ingin punya kehidupan dan membaginya
dengan seseorang yang aku cintai. Aku merindukan keluargaku. Aku
sungguh-sungguh tidak ingin menghabis satu musim lagi tanpa orang-orang
terdekatku.
Aku memutuskan untuk mengundurkan diri
dari pekerjaanku. Kali ini untuk selamanya. Aku tidak ingin kembali bekerja
disana. Terlalu banyak drama, kesombongan, dan iri hati. Mungkin itu yang
mereka sebut persaingan. Aku sebut itu ego.
***
Chapter
19
Pursuing
My Love
Awal musim dingin, sebelum salju
menumpuk dan banyak penerbangan yang dibatalkan karena badai, aku sudah
membulatkan tekadku untuk mengakhiri kehidupan di Manhattan.
Aku berdiri di tengah-tengah ruangan
apartemen yang sudah kosong. Semua barang itu sudah sampai mendahuluiku ke
Birmingham, Alabama. Beberapa hari yang lalu adikku, Kathryn telah menemukan
apartemen yang bagus untukku. Tidak terlalu besar seperti yang kupunya ini,
tapi dia meyakinkanku bahwa itu adalah yang terbaik.
Berjalan menuruni anak tangga depan
pintu masuk untuk yang terakhir kalinya. Kuamati lagi sekelilingku. Pandanganku
menyapu seluruh gedung, trotoar dan jalanan besar di depannya.
Aku menoleh ke belakang, tampak sebuah
taxi berhenti di depanku. Joann dan Emily keluar dari pintu taxi dan
mendapatkanku. Mendekapku dalam pelukan mereka.
“Kau yakin, San?” tanya Emily sambil
melepas pelukannya. Aku hanya mengangguk pelan.
“San, jika ini lantaran kami yang
mengabaikanmu, kami mohon maaf. Aku minta maaf. Aku berjanji akan mencari
pengasuh dan kita akan bisa hang-out
lagi bertiga..” Joann berusaha meyakinkanku untuk tetap tinggal.
“Bukan karena kalian. Sumpah. Aku ingin
menemukan kembali cintaku. Aku sudah mendapatkannya, namun kulepaskan lagi..” aku
menatap mereka berdua.
“Maksudmu, Liam. Kau jatuh cinta pada Liam,
pelayan itu!” Jerit Emily senang.
“Hey, hey, tunggu dulu. Siapa Liam?”
Joann masih kebingungan.
“Iya, Ems. Aku jatuh cinta padanya. Aku
menginginkan dia kembali..”
“Siapa Liam, San? Ems, kau tahu dan
tidak memberitahuku?”
“Biar dia saja yang memberitahumu,-kutunjuk
Emily-aku ada pesawat yang harus kukejar.” Bisikku pada Joann.
Setelah berpamitan pada mereka berdua
aku menuju JFK.
Kembali pulang, mengambil kembali apa
yang telah kulepaskan.
~~~
Birmingham,
Alabama.
Menempati suatu tempat yang baru
sepertinya adalah perkara yang mudah. Mungkin karena ada Kathryn yang membantu.
Dia menunggu jasa pengangkut barang pindahan di apartemenku yang baru, dan
menatanya dengan cepat.
“Aku menyukainya. Terima kasih banyak,
Kat” aku melonjak senang sembari memeluk Kathryn.
“Sudah, ya. Aku harus segera kembali ke
Forestdale. Zach sedang menungguku di ‘C Catering’,” Kathryn mengambil tas dan
jaketnya, “dah, kak. Baik-baiklah disini. Ada beberapa makanan beku di lemari
pendingin, kalau kau tidak ingin mencari makan di luar.”
Aku ingin sekali melanjutkan percakapan
tentang ‘C Catering’ tadi. Tapi, Kathryn sepertinya sedang terburu-buru.
Mereka berdua, Kathryn dan Zach akan
menikah pada pertengahan musin semi depan. Mungkin mereka ingin memakai jasa
Penelope Campbell lagi karena kesuksesan jasa katering itu di pesta pernikahan
Papa.
“Aku suka semua ini. Sebuah awal baru,” gumamku
pada seseorang di ujung sofa sana, “apa kau juga sependapat, Matthew?”
“Tergantung,” ujarnya sambil tersenyum.
Kutatap
langit Birmingham kala senja hari. Matahari perlahan mulai menenggelamkan
dirinya. Sekarang aku disini, mulai dari mana?
Malam itu juga aku pergi mengunjungi
Penelope di rumahnya yang sekaligus kantor untuk jasa kateringnya. Rumah sederhana
dengan halaman depan yang luas. Sebuah pohon besar kokoh berdiri di depan rumah.
Tidak seperti rumah-rumah lain yang memasang berbagai hiasan Natal di halaman
besar mereka, pemilik rumah yang ini hanya memasangkan lampu-lampu warna-warni
di sekeliling rumah.
Kuketuk pintu depan, namun tidak ada
jawaban. Aku memutari rumah itu ke belakang dan mendapati Penelope sedang
menggulung adonan. Dia sangat terampil melakukan pekerjaan itu. Meja kerjanya
tampak bersih begitu pula celemek putihnya, tidak seperti aku, berantakan dan
kotor disana-sini.
Penelope nampak terkejut dengan
kedatanganku tetapi tetap memberiku senyum khas dan pelukan hangatnya. Penelope
mengatakan betapa ia sangat merindukanku. Aku meminta maaf padanya karena tidak
berpamitan saat kembali ke New York. Penelope kemudian mengajakku membantunya membuat
pai ayam bersamanya.
Disela-sela menumis daging ayam untuk isian
pai, Penelope menceritakan bahwa Liam pernah pergi ke New York sendirian tetapi
tidak pernah mengatakan ada tujuan apa. Aku hanya mengangguk dan mengatakan
kalau aku sempat bertemu dengannya.
“Oya? Kenapa dia tidak pernah cerita
padaku kalau bertemu denganmu,” gumam Penelope, ia mencicipi tumisannya
menambahkan sedikit bumbu dan mencicipinya lagi, “lalu bagaimana, aku bertanya
tapi putraku itu hanya diam. Dia kebanyakan mengurung diri di kamar sejak dari
sana” lanjutnya lagi.
“Itulah sebabnya aku kemari, Pen, untuk
bertemu dengannya. Apa dia ada?” tanyaku berharap.
Penelope menatapku. Aku hanya tertunduk
sambil memainkan pot tempat pai yang sudah terisi adonan pastry.
“Apa sesuatu yang buruk menimpa kalian
berdua?” Penelope mengambil pot itu dari tanganku.
“Sangat buruk, Pen... aku tidak tahu
bagaimana cara menjelaskannya padamu.”
Penelope tidak menuntut untuk
menceritakan apa yang terjadi padaku dan anak lelakinya. Sambil menyendok
tumisan dan memasukkannya ke dalam pot, Penelope menjelaskan suatu hal padaku.
“Anakku itu sudah tidak tinggal
bersamaku lagi. Dia mengemasi barang-barangnya dan memilih tinggal di apartemen
sempit di pusat kota. Dia berhenti bekerja dan bergabung dengan teman-temannya
sesama pengacara di firma yang lebih besar,” Penelope memasukkan pot-pot itu ke
dalam oven, mengatur timer-nya, lalu
membilas kedua tangannya di wastafel.
“Aku tahu, Pen. Aku dari sana, mereka
bilang dia berhenti begitu saja. Maafkan aku, Pen, mungkin benar aku penyebab
semua ini.”
“Ah, sudahlah. Tak mengapa. Bukan
salahmu, dia sudah dewasa. Lagipula sejak dulu aku selalu mendorongnya untuk
tinggal sendiri, tapi dia terus menolak dengan alasan untuk menemaniku disini.
Akan kuberikan alamatnya padamu nanti.”
Penelope mengajakku ke ruang tengah,
memberiku secangkir teh dan secarik kertas berisi alamat kantor Liam yang baru.
Pandanganku menyapu ruangan tengah rumah
Penelope. Tampak hangat dan bersahaja. Ada sedikit pernak-pernik Natal tergantung
di plafonnya. Tak banyak foto-foto menempel di dindingnya.
Penelope berusaha menahanku untuk makan
pai ayam hangat-hangat, tetapi aku sudah tidak sabar ingin menemui Liam,
menjelaskan semuanya dan mencoba untuk memenangkan hatinya kembali.
~~~
Aku berhasil menemui Liam Campbell di
kantor barunya. Sangat aneh kalau dia tampak biasa tidak menujukkan rasa marah
sedikit pun. Bahkan dia menyambutku seperti seseorang yang baru bertemu lagi
dengan teman lama setelah sekian tahun tidak bertemu.
Kami duduk-duduk di restoran Italia yang
ada di lantai bawah kantornya. Lima belas menit pertama yang terbuang karena
kami masih saling diam menatap cangkir minuman masing-masing.
Ramainya restoran tidak membuat kami
terganggu dengan aksi diam tersebut. Terus terang, aku sangat tersiksa dengan
keadaan seperti ini. Aku tidak tahan lagi.
“Senang bisa bertemu denganmu lagi,
Liam” kataku pelan. Liam menatapku dan tersenyum kecil. Kemudian tangannya
mendekati dan mulai memegangi jari-jariku yang masih memegang cangkir minuman.
“Aku merindukanmu, sungguh.”
“Aku juga merindukanmu, Liam. Maafkan,
aku sudah mengacaukannya.”
“Sudahlah, aku sudah tidak mengingatnya
lagi,” Liam melipat tangannya di atas meja, “apa yang kau lakukan di sini,
San?” Liam bertanya padaku.
“Aku... aku hanya ingin menjelaskan
duduk persoalan malam itu. Aku tidak mencium Bryan, dia yang menciumku dan aku
berusaha untuk menghentikannya, namun kau sudah lebih dahulu melihatnya....”
Jelasku dengan cepat.
“Bukan itu. Aku sudah bilang, aku sudah
tidak mengingatnya lagi. Maksudku, kau sedang apa di Alabama?” tanyanya lagi.
Aku tidak menyangka kalau Liam melupakan
begitu saja kejadian di malam pesta kembang api itu.
“Aku kemari untuk mendapatkanmu
kembali...” kutatap serius wajahnya. Liam nampak terheran dengan pengakuanku.
Bibirnya melebar dan dahinya mengerut.
“Aku berhenti dari pekerjaanku dan
pindah kemari. Aku tidak ingin tinggal jauh dari keluargaku. Dan... aku ingin
bersamamu, Liam!“ Sontak aku berdiri dan bergegas keluar restoran.
Liam menyusulku dan segera memelukku.
Dapat kurasakan betapa hangatnya tubuh Liam. Kudengar detak jantungnya bagai
sebuah lagu yang mengiang di telingaku.
“Kalau seperti itu maumu, maka jadilah.
Aku tidak pernah keberatan,” bisiknya sambil mengecup keningku.
Liam memakaikan jaket serta menyerahkan
tas yang kutinggalkan di tempat duduk tadi, kemudian ia merangkul pundakku dan
mengajakku berjalan kaki di trotoar yang ramai dengan kafe-kafe tenda.
“Kau mengencani seseorang saat ini?”
tanyaku tiba-tiba.
“Ada beberapa. Tapi tidak ada yang spesial,”
Liam menghentikan langkahnya memegangi wajahku dengan kedua tangannya, “tidak
ada yang sepertimu.” Liam berusaha untuk meyakinkan aku, “kau tahu mengapa aku
ke New York?” aku menggeleng, “aku melihatmu di televisi saat berada di
pemakaman seseorang, kau tampak sedih. Saat itu ku pikir aku harus
mendampingimu. Segera saja aku naik pesawat ke tempatmu.”
“Ya, teman baikku. Dia meninggal karena
kanker. Tapi, maaf, kau harus melihat bagian terjeleknya.” Ujarku tidak
semangat. Liam menggeleng pelan.
Ada kelegaan dalam helaan napasku kali
ini.
Aku bahagia. Tidak ada yang menandingi
perasaanku saat ini. Berjalan-jalan berduaan dengan kekasih yang mendekap hangat
yang tak henti-hentinya mencium. Sungguh aku bahagia.
Kami berhenti di kerumunan orang-orang
yang menonton sebuah paduan suara anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu Natal.
Tampak butiran-butiran serupa kapas mulai jatuh satu persatu. Salju mulai turun.
Sepertinya akhir tahunku akan berakhir dengan sempurna.
***
Chapter
20
Do
Not Lie To Me... (The Day When My Life Was Over, part Two)
Matthew duduk sambil memeluk dan
membelai rambutku. Berulang kali dia berusaha menenangkan dengan mengatakan
semuanya akan baik-baik saja.
Saat ini aku tidak ingin mendengar
kata-kata itu karena kali ini tidak mujarab bagiku. Aku terus-menerus menangis.
Dalam isak tangis aku bertanya-tanya, apakah aku ditakdirkan untuk sendirian.
Liam mendustaiku. Dia bilang tidak satu
pun kencan serius yang dijalaninya. Tetapi kenyataan berkata lain.
Dua hari yang lalu, tepatnya tanggal dua
puluh delapan Desember, seorang gadis berparas cantik berambut coklat gelap,
bertubuh indah ala bintang teleovela mendatangi apartemenku. Saat itu aku
sedang menunggu Liam yang menjemputku untuk makan malam.
“Aku mencari Cassandra Hattaway,”
sapanya sopan dan lembut.
“Aku sendiri. Maaf, kamu siapa?” tanyaku
heran.
“Hai,” gadis itu mengajak untuk
berjabatan tangan, “namaku Caitlin Luna.”
Aku menerima ajakannya. Tangannya sangat
halus dan licin.
“Boleh aku masuk sebentar? Ada yang
ingin aku sampaikan padamu.” Kali ini gadis cantik itu setengah memaksa. Aku
terpaksa mengiyakannya dan mempersilahkan dia masuk.
“Rumahmu bagus,” pujinya seraya melepas
jaket dan melihat-lihat sekeliling.
“Terima kasih,” aku menghela napas, “maaf,
aku sedang menunggu seseorang...”
“Liam, bukan?” dia bertanya, aku kaget
penasaran, dari mana ia tahu kalau aku sedang menunggu Liam.
“Cassandra,” panggilnya pelan, “aku dan
Liam rekan satu firma. Saat ini kami sedang menjalin hubungan serius. Kami
sudah tinggal bersama selama hampir empat bulan ini...” kata-katanya terputus
karena melihatku jatuh perlahan dan lunglai di atas sofa.
“Apa dia yang menyuruhmu untuk kemari
dan memberitahukan semuanya padaku?” isakku. Aku mulai menagis.
“Tidak!” Sangkalnya. “Liam bahkan tidak
tahu kalau aku akhirnya tahu tentangmu. Sepupuku seorang polisi patroli yang
memberitahuku. Dia pernah melihat kalian berdua berjalan-jalan di taman malam
Natal kemarin,” gadis bernama Caitlin itu duduk di dekatku, “saat itu aku tahu,
kalau kamulah dia...”
Kuhapus sisa air mata di pipi. Kutatap
dengan merana gadis di depanku.
“Liam pernah bercerita padaku kalau ia
mencintai gadis ini dan menyusulnya ke New York, ketika kembali dia mengatakan
kalau dia dengan gadis ini sudah selesai.”
“Dan kau memanfaatkannya?” tuduhku pada
Caitlin.
“Tidak,” sangkalnya lagi, “dia sangat
terpukul, dan aku ada disana untuk menemaninya. Aku tidak bersalah dalam hal
ini, Cassandra. Dengar, aku mencintai Liam sejak masih di sekolah hukum. Aku
selalu mengikuti dia kemana pun dia pergi,” gadis itu mengambil tempat duduk di
dekatku, “saat dia berhenti bekerja, dia tidak memberitahu siapa-siapa kemana
dia akan pindah. Aku mencarinya ke seluruh firma di Birmingham, dan
menemukannya. Dalam hati aku bertekad untuk tidak kehilangan dia lagi.”
Aku melihat binar-binar di matanya
ketika menceritakan hal itu. Gadis ini juga mencintai Liam.
“Ayah dan ibuku adalah generasi pertama
yang tinggal Amerika. Mereka meninggalkan Peru hanya untuk mengejar impian
Amerika mereka. Aku juga punya. Sekolah hukum, karir cemerlang, dan suami,”
lanjutnya lagi.
Tapi
apakah orang itu harus Liam?
“Aku hanya ingin masa depan yang terbaik
untuk bayi kami. Aku hamil, Cassandra. Aku tidak mau bayi ini lahir tanpa
ayah....”
Perlahan-lahan kualihkan tatapanku
kembali padanya. Dalam tatapanku, aku berteriak dan bertanya.
“Ini sudah dua bulan. Aku berniat
memberitahukannya. Untuk itu aku harus menemuimu terlebih dahulu.” Penjelasan
Caitlin membuatku mual.
“Pergilah...!” Aku mengusirnya perlahan.
“Sudah cukup penjelasanmu. Aku tidak mau dengar lagi sisanya....”
“Aku tidak pernah merencanakan ini,
Cassandra. Maafkan aku..” setelah berkata demikian, Caitlin, gadis itu segera
mengambil tas dan jaketnya dan pergi meninggalkan aku yang masih terkulai di
sofa.
“Kau bisa mendapatkan laki-laki lain,
Cassandra. Tapi, tolong jangan Liam,” ujar Caitlin sebelum pergi.
Caitlin hampir menabrak Liam di pintu
masuk. Aku dapat melihat keterkejutan Liam melihat Caitlin keluar dari pintuku.
Mereka berdua sempat beradu pandang.
Saat Caitlin melewatinya, Liam hanya
terpaku melihatku yang sudah berdandan rapi dengan air mata menggenang.
“San...” panggil Liam. Suaranya melemah.
“Kau tidur dengan gadis itu. Caitlin.
Kau tidur dengannya?” tanyaku sambil menampik tangan Liam yang hendak menghapus
air mata di pipiku, “kau berbohong padaku. Kau bilang tidak ada yang
spesial...” aku berteriak pada Liam.
“Ya, itu benar. Memang tidak ada yang
spesial!” Liam balas meneriakiku.
“Tapi kau tidur dengannya, Liam. Kalian
tinggal bersama...dan sekarang dia hamil anakmu. Dia akan memberitahumu hari
ini. Kau dengar...!” aku mengamuk dan memecahkan vas bunga di atas meja.
Tanganku berdarah terkena pecahannya. Aku berusaha menghentikan darah yang
keluar dengan membungkamnya memakai kain bajuku.
Liam hanya terdiam. Dia tidak membantah
sedikit pun perkataanku.
Apa
yang kukatakan semua itu benar adanya, kan? Kau tidak bisa membela dirimu.
Liam menuju pintu. Dengan cepat ia
membalikkan badannya.
“Aku akui kalau aku salah. Aku sudah
membohongimu. Terus terang, aku tidak
pernah bermaksud untuk menyakitimu. Demi Tuhan, kaulah yang kucintai saat ini...”
Liam menutupi kedua matanya dengan tangannya. Lalu aku mendengar isaknya.
“Aku sangat terluka, dan Caitlin ada
saat itu. Aku mengakui kelemahanku...”
Liam mendekatiku dan berusaha untuk
memeluk. Dengan pelan kutolak pelukannya dan berbalik membelakanginya.
“Aku berharap aku bisa mengubah masa
lalu, San,” gumamnya dalam isak tangisnya.
“Liam,” panggilku tanpa melihat padanya,
“aku tidak apa-apa.”
“Maafkan aku, San. Aku sungguh-sungguh
menyesalinya.” Liam menyentuh pundak dan memelukku dari belakang. Kupejamkan
mata sejenak dan menikmati pelukan itu untuk yang terakhir kalinya.
“Pergilah kau, Liam. Jauhi aku...”
ujarku pelan. Tidak tahukah kau apa yang
kukorbankan untuk sampai kemari?
“Kumohon... biarkan aku begini untuk
sesaat,” bisiknya. Aku dapat merasakan bibirnya yang berkata-kata di pundakku.
Untuk sejenak aku membiarkannya menangis
di pundakku.
Perlahan Liam melepaskan pelukannya.
Kemudian dia mencium kepalaku dan membelai rambutku.
“Maafkan aku, San. Aku mendoakan
kebahagianmu dimanapun aku berada. Selamat tinggal.” Pamit Liam.
Kudengar suara langkahnya semakin
menjauh. Dan menghilang.
Menyadari Liam tidak akan kutemui lagi,
pecahlah tangisku.
Saat ini aku tidak mempercayai bahwa
cinta itu benar-benar ada. Aku pernah kehilangan satu buah cinta. Di saat
permohonan dan harapan akan cinta tidak ada yang terwujud, ada sosok ini hadir
dan menjawab semuanya.
Dia memberiku kepercayaan kembali bahwa cinta
itu masih ada, bahwa... aku juga masih bisa memperoleh cinta itu dan berbahagia
karenanya.
Tetapi sekarang seperti dirampas lagi
dariku, padahal aku sudah menggenggamnya. Aku siap mewujudkannya, membuatnya
menjadi nyata.
Sudah bersusah payah aku mengejarnya
sampai ke tempat ini. semuanya jadi tidak berguna. Hanya kekecewaan. Apa yang
kugenggam sekarang? Debu. Tak ada yang lebih baik dari segenggeam debu.
Dicampakkan. Tak percaya hal ini terjadi
padaku, sekali lagi.
Aku hanya ingin menghilang...
~~~
Gemerlap meriahnya tahun baru sudah
berakhir. Tidak ada yang tersisa dan tidak ada yang terbarukan dari hidupku.
Tidak ada kemeriahan, sukacita ataupun semangat memulai kembali. Hari ini
tetaplah sama seperti hari-hari kemarin. Hambar dan membosankan. Seperti
kehidupanku sekarang.
Emily mengirim email foto yang dibuat
seperti kartu pos. Foto dirinya bersama Senator Moore dengan latar belakang lautan
manusia yang memadati Times Square untuk
menyaksikan penurunan bola raksasa.
Seuntai tulisan disana yang mendoakan
supaya aku lebih baik lagi di tahun yang baru. Sebuah tarikan lepas napas
dariku itu seolah menandakan bahwa itu tidak akan pernah terwujud.
Sebuah email lagi dari Joann dan Hansen.
Mereka berfoto mengapit si kecil Tiffany yang semakin besar. ‘Andai kau ada disini..’ tulisan dibawah
foto itu membuatku ingin menangis. Namun urung kulakukan karena melihat
senyuman lebar ketiganya.
Aku beralih ke ruang tengah dan mulai
menonton -lagi- film ‘P.S. I Love You’ dari
koleksi DVD milikku. Tanpa bergerak sedikit pun tanpa terasa film itu pun usai.
Persis seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi. Entah
sudah berapa kali aku menonton film ini, dan menangis selama dua jam
setelahnya.
Aku ingin seperti Holly yang punya
banyak cinta untuk Gerry sampai Gerry meninggal mendadak. Walau jatuh bangun
dalam kesedihan ia mampu bangkit kembali dan menemukan kembali masa depannya.
Mengapa kisahku tidak seperti itu.
Pria-pria yang sempat hadir dan memberiku perjalanan cinta ‘pun belum ada yang
mati. Tak satu pun dari keduanya yang memberi kehidupan pada cintaku.
Aku sangat ingin percaya bahwa cinta
sejati itu ada. Karena itu anugerah. Cinta dan kebahagiaan adalah kombinasi
yang tepat. Bukan cinta dan kesedihan.
Tak sengaja kakiku menginjak tombol remote, dan DVD film tadi berganti
dengan CD lagu-lagu sendu yang sudah sekian tahun baru terdengar kembali.
Mendengar lagu yang berkumandang, aku
menghentikan langkah kaki, terduduk di lantai dan mulai menangis dengan
kencang.
‘...why
does my heart go on beating
Why
do these eyes of mine cry..
Don’t
they know it’s the end of the world
It
ended when you said good bye....’
***