Chapter
21
Entered
a New Chapter
Empat bulan kemudian.
Musim Semi, 2015.
Aku menatap cermin di depanku.
Pantulannya sungguh tidak dapat dipercaya. Seorang gadis berdiri memakai gaun
panjang berwarna lavender, rambut disanggul dan riasan ala musim semi yang
segar.
Gadis di cermin itu tampak berbeda.
Senyuman terukir di bibirnya. Matanya berbinar-binar. Tidak ada lagi kesedihan
di matanya.
“Kau sedang menyebut mantra?” tanya
Nigel Perry sambil memulaskan kuasnya di pipiku.
“Mantra apa?” aku beralih ke arah Nigel.
“Cermin, cermin di dinding...” Nigel
memelototkan matanya, “kau tanya siapa yang paling cantik, aku akan jawab,
adikmu yang tercantik disini. Tapi kau adalah pendamping wanita tercantik yang
pernah kutangani.”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Nigel.
Hari ini, adikku Kathryn akan menikah dengan Zach. Aku bahagia karena menjadi
bagian dari semua ini.
Aku dan Kathryn menjelajah seluruh
Birmingham untuk mencari gaun pengantin yang sempurna untuknya, mencoba
berbagai makanan untuk sajian, mencicipi anggur, bahkan memakan hampir semua
potongan kecil sampel kue pengantin.
Aku tidak ingin mengetahui lebih banyak
alasan dari Penelope Campbell dan tidak menghalanginya untuk menarik diri dari
pernikahan Kathryn. Aku tidak ingin ia menjadi risau karena persoalan antara
aku dengan anaknya, tetapi ia tetap merasa tak enak. Aku dan Katrhyn menyetujui
untuk mencari jasa katering yang lain.
Di tengah keputus-asaan Kathryn karena
semua tempat favoritnya di Birmingham ternyata sudah terisi sepanjang musim
semi, aku memberi ide untuk mengadakan pesta pernikahannya di pinggir danau di
belakang rumah, di Forestdale. Tak kusangka ia menyukai ide gila itu.
Barisan kursi-kursi putih berbaris rapih
di depan lengkungan pernikahan yang dibalut dengan bunga aneka warna. Aku
sengaja menyewa seorang perencana pernikahan untuk membuatkan dekorasi yang
menyerupai pernikahan Bella dan Edward di film Twilight.
Berjalan melewati barisan kursi-kursi
yang penuh dengan hadirin kali ini membuatku merasa bahagia karena kulihat
wajah-wajah orang terkasih ada di antara mereka yang duduk.
Emily dan Senator Moore, Joann, Hansen
dan si gadis kecil kami, Tiffany. Keluarga besarku juga ada. Bibi Ellen, Paman
Dalton, bahkan Bianca yang baru tiba dari Paris dua jam lalu. Tampaknya jetlag tidak berpengaruh besar untuknya.
Papa memeluk dan mencium keningku
sebelum kembali ke tempat duduknya setelah mengantar Kathryn dan menyerahkannya
kepada pengantin pria.
Tepuk tangan para undangan ketika kedua
insan yang jatuh cinta pada pandangan pertama itu mendeklarasikan ikatan suami
istri mereka dengan sebuah ciuman mesra. Kathryn dan Zach melambaikan tangan
pada kami dan menuju ke tempat resepsi di bawah sebuah tenda putih yang besar.
“Kathryn, aku ingin bersulang untuk
kebahagianmu dengan Zach. Kalian berdua adalah inspirasi buatku dan yang
membuatku kembali percaya akan cinta sejati. Walau saat ini kau sudah menjadi
seorang istri, tapi kau tetaplah adikku,” aku mengangkat gelas berisi anggur
merah, “bersulang... untuk Kathryn dan Zach...” Para undangan mengangkat
gelas-gelas anggur mereka dan mengikuti ucapanku.
Sementara seorang penyanyi pria –seorang
penyanyi jalanan di taman kota Birmingham yang kusewa untuk pernikahan ini-
mulai melantunkan lagu-lagu pilihannya, kedua orang yang berbahagia itu mulai
dengan dansa perdana mereka, tak lama sepasang demi sepasang mulai mengikuti
mereka turun ke lantai dansa.
Aku masih duduk sendiri ketika Emily
mendatangiku.
“Sudah kau baca? Bagaimana menurutmu?”
tanyanya sambil meletakkan sebuah buku di hadapanku. Buku tebal dengan tulisan besar
berwarna hitam dan putih ‘THE LAKE BEHIND THE HOUSE’ dengan gambar seorang
gadis berambut pirang menatap ke sebuah danau dari jendela. Nama Emily Andrews
ada di bawah tulisan hitam putih tersebut.
Aku tahu arah maksud pertanyaan Emily.
Novelis itu menyuruhku membaca karya terbarunya dan menginginkan pendapatku.
“Cassey Attaway? Serius kah ini. Sama
saja kau menulis kisah tentangku, Ems...” kataku sedikit sewot, “kalau saja
Tiff masih hidup akan kusuruh dia menuntutmu!”
“Tapi kan hanya kau dan aku yang tahu.
Lagipula kau dikenal sebagai Sandra Hattaway...” Emily terdiam sebentar, ia
menyadari sesuatu, “oiya, namamya mirip ya..” akunya dengan wajah yang memelas.
“Ems, kau menulis tentang danau di
belakang rumahku, tapi hanya membelokkan sedikit saja namaku. Lagipula, aku
tidak membunuh siapa-siapa,” bantahku, “tapi lumayan bagus, Ems. Aku suka
ceritanya.”
“Terima kasih, ya. Berkatmu bukuku jadi best seller. Kau tahu, tadi malam aku
mendapat telepon dari seorang produser. Dia akan mengangkat bukuku ke layar
lebar. Menakjubkan bukan?” Emily menjerit girang.
“Ems, itu hebat sekali.” Aku
menyambutnya dengan senang.
“Aku tahu..” teriaknya kuat.
“Ada beberapa aktris yang kupikir sangat
cocok untuk menjadi Cassie. Kau mau siapa? Gadis Parker dari Leverage itu
hebat, atau si pirang sombong pemeran Quinn di Glee, atau...” Celoteh Emily
terus-menerus tanpa henti.
Ketika kami sedang merayakan suksesnya
buku terbaru Emily, smartphone-ku
berbunyi. Aku tidak mengenali nomor yang tertera di layarnya.
“Sebentar, Ems,” aku memberi isyarat
tanganku pada Emily dan berjalan ke arah danau, “Haloo” sapaku kepada seseorang
di seberang.
[“Lavender adalah warna yang sangat
tepat untukmu.”]
Terhenti langkahku dan terdiam di
tempat. Menyadari suara itu sangat kukenali. Suara yang pernah mengisi
hari-hariku. Suara yang pernah membuatku jatuh cinta. Aku merinding sekali.
Seraut wajah muncul di benakku.
[“Kau cantik, sangat cantik. Aku suka
saat kau memeriksa betapa sempurnanya kuku-kuku jarimu.”]
Aku segera menurunkan jari tanganku dan
menyembunyikannya di balik gaunku. Dia tahu apa yang sedang kulakukan.
Samar-samar kudengar alunan musik dan keramaian yang menjadi latar belakang si
penelepon itu, lalu aku melihat ke arah tenda. Musik dan keramaian yang sama.
Astaga, dia disini!
“OK. Kalau kau memang seorang gentelman,
mari hadapi aku disini,” tantangku.
[“Kau tahu apa yang membuatku jatuh
cinta padamu? Kata-katamu yang kadang terkesan pedas dan galak, tawamu yang
melengking, begitu pula tatapan matamu yang membuatku menahan napas...”]
Latar belakang si penelepon itu pun
semakin memburam seiring dengan seorang pria berstelan jas rapih yang berjalan
menuju ke arahku.
[“Aku mencintaimu, Sandra..”]
Aku mematikan smarthphone-ku dan menyimpannya dalam tas tangan. Begitu juga
dengan pria di depanku yang hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatku
berdiri. Pria itu mengulaskan senyumnya. Pandangan kami saling bertautan. Ada
debaran dalam dadaku.
Saat aku sudah tidak sanggup untuk
menatapnya lagi, pria itu datang mendekat. Dia semakin dekat. Dan...
“Bryan, kau datang. Dari mana kau tahu
ada pernikahan disini?” aku bertanya pada pria yang tak lain adalah Bryan
Forrester.
“Burung kecil memberitahuku,” jawabnya
sambil menyapu untaian rambut yang jatuh dekat mataku dengan jari-jarinya. Aku
bergetar saat salah satunya menyentuh kulitku.
“Emily dengan kicauannya di Twitter. Ada
rumor yang mengatakan kalau tempat ini adalah inspirasi buku terbarunya. Benar
begitu?”
Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak
tahu apa-apa.
“San, dengar. Aku memang tidak diundang
tapi aku merasa aku harus datang untuk menemuimu,” Bryan mendekatiku, “aku tahu
aku bersalah padamu dan pasti kau sangat membenciku karena itu. Tapi, apabila
kau memberiku kesempatan sekali lagi untuk memperbaikinya dengan senang hati
akan kuambil kesempatan itu.”
Aku masih berdiam di tempat aku berdiri.
Tak mampu membalas perkataannya.
“Aku tidak dapat jauh-jauh lagi darimu,
San. Untuk itu aku ingin mengajakmu untuk pergi ke London, karena aku
membutuhkan dukunganmu...”
Apa?
Coba ucap sekali lagi, Bryan.
“Sandra, tolonglah. Katakan sesuatu
supaya aku tenang. Jangan menyiksaku seperti ini,” sinar matanya mulai
memancarkan keragu-raguan, “aku masih mencintaimu, Sandra. Kalau kau tidak
merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan, maka aku akan pergi sekarang
juga.”
Aku
mau katakan sesuatu, Bryan. Mulutku rasanya terkunci.
Bryan mulai mundur selangkah.
“Maaf aku telah membuang waktumu, San.
Aku mencintaimu.” Katanya sambil menatapku dalam. Ia pun segera berbalik dan berjalan
meninggalkan aku yang masih kaku berdiri.
Aku tahu aku tidak ingin kehilangan dia
lagi. Ini adalah lima detik penentuan untukku agar segera mengambil sikap.
Detik pertama, dia tulus saat
berkata-kata.
Detik kedua, dia masih mencintaiku. Aku
dapat melihat dari sorot matanya.
Detik ketiga, aku ingin dia kembali.
Detik keempat, aku masih mencintainya.
Ya, aku masih mencintainya.
Detik kelima, “Bryan...” panggilku. Aku
memberi tanganku padanya untuk segera dia raih. Bryan menerima uluran tanganku.
“Apa kau bersungguh-sungguh pada setiap
kata yang kau ucapkan?” tanyaku.
“Setiap kata itu benar adanya. Aku
bersumpah. Demi nyawaku.” Bryan meletakkan tanganku di dadanya.
Aku menggerakkan mataku. Lalu melihat
padanya.
“Jadi...kapan kita berangkat?” gumamku
pelan.
“Kapan saja kau mau.” Bryam menciumku
dengan mesra, dan aku membalas ciuman itu. Terasa hangat.
“Mengapa kau mengajakku pergi, Bryan?
Akan kah lebih baik jika aku disini menunggumu?”
“Supaya aku dapat menciummu kapan saja
aku mau...” Bryan kembali menciumku.
Aku menghapus jejak lipstik di sekitar
bibir Bryan.
“Ayo kembali ke pesta. Aku tidak mau
keluargaku mencari-cari aku.” Kutarik lembut tangan Bryan.
Kami berdansa dengan ‘Thinking Out Loud’ sebagai lagu
pengiringnya. Bryan membuatku berputar di sela-sela dansa kami kemudian
menangkapku kembali, lalu ia menciumku lagi. Aku tak ambil pusing dengan
tatapan heran bercampur kaget dari Emily dan Joan.
Aku tahu Emily berusaha menggodaku saat
ia bilang ingin bertukar pasangan dansa. Emily dan Bryan adalah pasangan dansa
yang tepat. Mereka berdua seperti profesional
ballroom dancer. Aku tak kan pernah bisa menandingi mereka berdua. Segera
saja aku menuju meja terluar dan menyendiri di situ.
Seseorang sedang berdiri di pinggir
danau. Aku mengenalnya. Tergerak ingin segera menemuinya. Semilir angin dari arah danau menyertai
langkah kakiku mendekati seseorang itu. Belum lagi aku sampai ke sana, ia sudah
berbalik badan untuk mendapatiku.
“Hallo, Matthew,” sapaku. Matthew
tersenyum kecil.
“Tak kusangka akhirnya kau akan akan
kembali bersamanya,” ucapnya sendu, “tapi kalau kau merasa dia akan membuatmu
bahagia kali ini, aku tak’kan menghalangimu. Kau pantas untuk berbahagia.”
“Matthew, aku...” aku tidak dapat
meneruskan kata-kataku.
“Sudahlah. Kebahagia-anmu adalah
prioritasku. Kurasa ini sudah waktunya.”
“Tinggallah, Matthew. Kau tahu aku
menyayangimu. Aku mohon.” Paksaku.
Lagi-lagi Matthew hanya tersenyum.
“Aku akan menceritakan kisahmu di masa
depan. Aku percaya akan menjadi inspirasi bagi orang-orang patah hati.” Lanjut
Matthew lagi.
“Jangan kau berani, Matthew. Aku akan
memburumu,” aku terdiam sejenak, kutatap mata coklatnya yang syahdu, “aku akan
merindukanmu, Matthew, jangan pernah lupakan aku, aku hanya....” kata-kataku
terhenti karena sebuah suara memanggil namaku.
Aku menoleh ke arah suara memanggil itu.
Bryan datang menyusulku.
“Kau bicara dengan siapa?” tanyanya
sambil melihat sekeliling.
Aku menggelengkan kepala dan menarik
tangan Bryan untuk segera menjauh dari tempat kami berdiri.
“Ayo, kembali. Aku mau bicara dengan
penyanyi itu tentang pembayarannya.” Ajakku pada Bryan.
Diam-diam aku mencuri lihat ke arah
dimana Matthew berada. Langkahku terhenti demi melihat tubuhnya yang
perlahan-lahan menjadi butiran-butiran pasir mulai dari kaki kemudian naik ke
atas tubuhnya. Wajah itu masih meninggalkan senyuman khasnya. Tak lama kemudian
butiran pasir itu menyapu semua tubuh Matthew dan terbang menuju ke tengah
danau.
“Ada apa?” tanya Bryan.
“Aku mencintaimu, Bryan...”
~~~selesai~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar