Senin, 01 Januari 2018

chapter 21

Chapter 21
Entered a New Chapter

Empat bulan kemudian.
Musim Semi, 2015.
Aku menatap cermin di depanku. Pantulannya sungguh tidak dapat dipercaya. Seorang gadis berdiri memakai gaun panjang berwarna lavender, rambut disanggul dan riasan ala musim semi yang segar.
Gadis di cermin itu tampak berbeda. Senyuman terukir di bibirnya. Matanya berbinar-binar. Tidak ada lagi kesedihan di matanya.
“Kau sedang menyebut mantra?” tanya Nigel Perry sambil memulaskan kuasnya di pipiku.
“Mantra apa?” aku beralih ke arah Nigel.
“Cermin, cermin di dinding...” Nigel memelototkan matanya, “kau tanya siapa yang paling cantik, aku akan jawab, adikmu yang tercantik disini. Tapi kau adalah pendamping wanita tercantik yang pernah kutangani.”
Aku tersenyum mendengar pengakuan Nigel. Hari ini, adikku Kathryn akan menikah dengan Zach. Aku bahagia karena menjadi bagian dari semua ini.
Aku dan Kathryn menjelajah seluruh Birmingham untuk mencari gaun pengantin yang sempurna untuknya, mencoba berbagai makanan untuk sajian, mencicipi anggur, bahkan memakan hampir semua potongan kecil sampel kue pengantin.
Aku tidak ingin mengetahui lebih banyak alasan dari Penelope Campbell dan tidak menghalanginya untuk menarik diri dari pernikahan Kathryn. Aku tidak ingin ia menjadi risau karena persoalan antara aku dengan anaknya, tetapi ia tetap merasa tak enak. Aku dan Katrhyn menyetujui untuk mencari jasa katering yang lain.
Di tengah keputus-asaan Kathryn karena semua tempat favoritnya di Birmingham ternyata sudah terisi sepanjang musim semi, aku memberi ide untuk mengadakan pesta pernikahannya di pinggir danau di belakang rumah, di Forestdale. Tak kusangka ia menyukai ide gila itu.
Barisan kursi-kursi putih berbaris rapih di depan lengkungan pernikahan yang dibalut dengan bunga aneka warna. Aku sengaja menyewa seorang perencana pernikahan untuk membuatkan dekorasi yang menyerupai pernikahan Bella dan Edward di film Twilight.
Berjalan melewati barisan kursi-kursi yang penuh dengan hadirin kali ini membuatku merasa bahagia karena kulihat wajah-wajah orang terkasih ada di antara mereka yang duduk.
Emily dan Senator Moore, Joann, Hansen dan si gadis kecil kami, Tiffany. Keluarga besarku juga ada. Bibi Ellen, Paman Dalton, bahkan Bianca yang baru tiba dari Paris dua jam lalu. Tampaknya jetlag tidak berpengaruh besar untuknya.
Papa memeluk dan mencium keningku sebelum kembali ke tempat duduknya setelah mengantar Kathryn dan menyerahkannya kepada pengantin pria.
Tepuk tangan para undangan ketika kedua insan yang jatuh cinta pada pandangan pertama itu mendeklarasikan ikatan suami istri mereka dengan sebuah ciuman mesra. Kathryn dan Zach melambaikan tangan pada kami dan menuju ke tempat resepsi di bawah sebuah tenda putih yang besar.
“Kathryn, aku ingin bersulang untuk kebahagianmu dengan Zach. Kalian berdua adalah inspirasi buatku dan yang membuatku kembali percaya akan cinta sejati. Walau saat ini kau sudah menjadi seorang istri, tapi kau tetaplah adikku,” aku mengangkat gelas berisi anggur merah, “bersulang... untuk Kathryn dan Zach...” Para undangan mengangkat gelas-gelas anggur mereka dan mengikuti ucapanku.
Sementara seorang penyanyi pria –seorang penyanyi jalanan di taman kota Birmingham yang kusewa untuk pernikahan ini- mulai melantunkan lagu-lagu pilihannya, kedua orang yang berbahagia itu mulai dengan dansa perdana mereka, tak lama sepasang demi sepasang mulai mengikuti mereka turun ke lantai dansa.
Aku masih duduk sendiri ketika Emily mendatangiku.
“Sudah kau baca? Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil meletakkan sebuah buku di hadapanku. Buku tebal dengan tulisan besar berwarna hitam dan putih ‘THE LAKE BEHIND THE HOUSE’ dengan gambar seorang gadis berambut pirang menatap ke sebuah danau dari jendela. Nama Emily Andrews ada di bawah tulisan hitam putih tersebut.
Aku tahu arah maksud pertanyaan Emily. Novelis itu menyuruhku membaca karya terbarunya dan menginginkan pendapatku.
“Cassey Attaway? Serius kah ini. Sama saja kau menulis kisah tentangku, Ems...” kataku sedikit sewot, “kalau saja Tiff masih hidup akan kusuruh dia menuntutmu!”
“Tapi kan hanya kau dan aku yang tahu. Lagipula kau dikenal sebagai Sandra Hattaway...” Emily terdiam sebentar, ia menyadari sesuatu, “oiya, namamya mirip ya..” akunya dengan wajah yang memelas.
“Ems, kau menulis tentang danau di belakang rumahku, tapi hanya membelokkan sedikit saja namaku. Lagipula, aku tidak membunuh siapa-siapa,” bantahku, “tapi lumayan bagus, Ems. Aku suka ceritanya.”
“Terima kasih, ya. Berkatmu bukuku jadi best seller. Kau tahu, tadi malam aku mendapat telepon dari seorang produser. Dia akan mengangkat bukuku ke layar lebar. Menakjubkan bukan?” Emily menjerit girang.
“Ems, itu hebat sekali.” Aku menyambutnya dengan senang.
“Aku tahu..” teriaknya kuat.
“Ada beberapa aktris yang kupikir sangat cocok untuk menjadi Cassie. Kau mau siapa? Gadis Parker dari Leverage itu hebat, atau si pirang sombong pemeran Quinn di Glee, atau...” Celoteh Emily terus-menerus tanpa henti.
Ketika kami sedang merayakan suksesnya buku terbaru Emily, smartphone-ku berbunyi. Aku tidak mengenali nomor yang tertera di layarnya.
“Sebentar, Ems,” aku memberi isyarat tanganku pada Emily dan berjalan ke arah danau, “Haloo” sapaku kepada seseorang di seberang.
[“Lavender adalah warna yang sangat tepat untukmu.”]
Terhenti langkahku dan terdiam di tempat. Menyadari suara itu sangat kukenali. Suara yang pernah mengisi hari-hariku. Suara yang pernah membuatku jatuh cinta. Aku merinding sekali. Seraut wajah muncul di benakku.
[“Kau cantik, sangat cantik. Aku suka saat kau memeriksa betapa sempurnanya kuku-kuku jarimu.”]
Aku segera menurunkan jari tanganku dan menyembunyikannya di balik gaunku. Dia tahu apa yang sedang kulakukan. Samar-samar kudengar alunan musik dan keramaian yang menjadi latar belakang si penelepon itu, lalu aku melihat ke arah tenda. Musik dan keramaian yang sama. Astaga, dia disini!
“OK. Kalau kau memang seorang gentelman, mari hadapi aku disini,” tantangku.
[“Kau tahu apa yang membuatku jatuh cinta padamu? Kata-katamu yang kadang terkesan pedas dan galak, tawamu yang melengking, begitu pula tatapan matamu yang membuatku menahan napas...”]
Latar belakang si penelepon itu pun semakin memburam seiring dengan seorang pria berstelan jas rapih yang berjalan menuju ke arahku.
[“Aku mencintaimu, Sandra..”]
Aku mematikan smarthphone-ku dan menyimpannya dalam tas tangan. Begitu juga dengan pria di depanku yang hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatku berdiri. Pria itu mengulaskan senyumnya. Pandangan kami saling bertautan. Ada debaran dalam dadaku.
Saat aku sudah tidak sanggup untuk menatapnya lagi, pria itu datang mendekat. Dia semakin dekat. Dan...
“Bryan, kau datang. Dari mana kau tahu ada pernikahan disini?” aku bertanya pada pria yang tak lain adalah Bryan Forrester.
“Burung kecil memberitahuku,” jawabnya sambil menyapu untaian rambut yang jatuh dekat mataku dengan jari-jarinya. Aku bergetar saat salah satunya menyentuh kulitku.
“Emily dengan kicauannya di Twitter. Ada rumor yang mengatakan kalau tempat ini adalah inspirasi buku terbarunya. Benar begitu?”
Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu apa-apa.
“San, dengar. Aku memang tidak diundang tapi aku merasa aku harus datang untuk menemuimu,” Bryan mendekatiku, “aku tahu aku bersalah padamu dan pasti kau sangat membenciku karena itu. Tapi, apabila kau memberiku kesempatan sekali lagi untuk memperbaikinya dengan senang hati akan kuambil kesempatan itu.”
Aku masih berdiam di tempat aku berdiri. Tak mampu membalas perkataannya.
“Aku tidak dapat jauh-jauh lagi darimu, San. Untuk itu aku ingin mengajakmu untuk pergi ke London, karena aku membutuhkan dukunganmu...”
Apa? Coba ucap sekali lagi, Bryan.
“Sandra, tolonglah. Katakan sesuatu supaya aku tenang. Jangan menyiksaku seperti ini,” sinar matanya mulai memancarkan keragu-raguan, “aku masih mencintaimu, Sandra. Kalau kau tidak merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan, maka aku akan pergi sekarang juga.”
Aku mau katakan sesuatu, Bryan. Mulutku rasanya terkunci.
Bryan mulai mundur selangkah.
“Maaf aku telah membuang waktumu, San. Aku mencintaimu.” Katanya sambil menatapku dalam. Ia pun segera berbalik dan berjalan meninggalkan aku yang masih kaku berdiri.
Aku tahu aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Ini adalah lima detik penentuan untukku agar segera mengambil sikap.
Detik pertama, dia tulus saat berkata-kata.
Detik kedua, dia masih mencintaiku. Aku dapat melihat dari sorot matanya.
Detik ketiga, aku ingin dia kembali.
Detik keempat, aku masih mencintainya. Ya, aku masih mencintainya.
Detik kelima, “Bryan...” panggilku. Aku memberi tanganku padanya untuk segera dia raih. Bryan menerima uluran tanganku.
“Apa kau bersungguh-sungguh pada setiap kata yang kau ucapkan?” tanyaku.
“Setiap kata itu benar adanya. Aku bersumpah. Demi nyawaku.” Bryan meletakkan tanganku di dadanya.
Aku menggerakkan mataku. Lalu melihat padanya.
“Jadi...kapan kita berangkat?” gumamku pelan.
“Kapan saja kau mau.” Bryam menciumku dengan mesra, dan aku membalas ciuman itu. Terasa hangat.
“Mengapa kau mengajakku pergi, Bryan? Akan kah lebih baik jika aku disini menunggumu?”
“Supaya aku dapat menciummu kapan saja aku mau...” Bryan kembali menciumku.
Aku menghapus jejak lipstik di sekitar bibir Bryan.
“Ayo kembali ke pesta. Aku tidak mau keluargaku mencari-cari aku.” Kutarik lembut tangan Bryan.
Kami berdansa dengan ‘Thinking Out Loud’ sebagai lagu pengiringnya. Bryan membuatku berputar di sela-sela dansa kami kemudian menangkapku kembali, lalu ia menciumku lagi. Aku tak ambil pusing dengan tatapan heran bercampur kaget dari Emily dan Joan.
Aku tahu Emily berusaha menggodaku saat ia bilang ingin bertukar pasangan dansa. Emily dan Bryan adalah pasangan dansa yang tepat. Mereka berdua seperti profesional ballroom dancer. Aku tak kan pernah bisa menandingi mereka berdua. Segera saja aku menuju meja terluar dan menyendiri di situ.
Seseorang sedang berdiri di pinggir danau. Aku mengenalnya. Tergerak ingin segera menemuinya.  Semilir angin dari arah danau menyertai langkah kakiku mendekati seseorang itu. Belum lagi aku sampai ke sana, ia sudah berbalik badan untuk mendapatiku.
“Hallo, Matthew,” sapaku. Matthew tersenyum kecil.
“Tak kusangka akhirnya kau akan akan kembali bersamanya,” ucapnya sendu, “tapi kalau kau merasa dia akan membuatmu bahagia kali ini, aku tak’kan menghalangimu. Kau pantas untuk berbahagia.”
“Matthew, aku...” aku tidak dapat meneruskan kata-kataku.
“Sudahlah. Kebahagia-anmu adalah prioritasku. Kurasa ini sudah waktunya.”
“Tinggallah, Matthew. Kau tahu aku menyayangimu. Aku mohon.” Paksaku.
Lagi-lagi Matthew hanya tersenyum.
“Aku akan menceritakan kisahmu di masa depan. Aku percaya akan menjadi inspirasi bagi orang-orang patah hati.” Lanjut Matthew lagi.
“Jangan kau berani, Matthew. Aku akan memburumu,” aku terdiam sejenak, kutatap mata coklatnya yang syahdu, “aku akan merindukanmu, Matthew, jangan pernah lupakan aku, aku hanya....” kata-kataku terhenti karena sebuah suara memanggil namaku.
Aku menoleh ke arah suara memanggil itu. Bryan datang menyusulku.
“Kau bicara dengan siapa?” tanyanya sambil melihat sekeliling.
Aku menggelengkan kepala dan menarik tangan Bryan untuk segera menjauh dari tempat kami berdiri.
“Ayo, kembali. Aku mau bicara dengan penyanyi itu tentang pembayarannya.” Ajakku pada Bryan.
Diam-diam aku mencuri lihat ke arah dimana Matthew berada. Langkahku terhenti demi melihat tubuhnya yang perlahan-lahan menjadi butiran-butiran pasir mulai dari kaki kemudian naik ke atas tubuhnya. Wajah itu masih meninggalkan senyuman khasnya. Tak lama kemudian butiran pasir itu menyapu semua tubuh Matthew dan terbang menuju ke tengah danau.
“Ada apa?” tanya Bryan.
“Aku mencintaimu, Bryan...”



~~~selesai~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar